Mayoritas Dewi di Bali Belum Tersertifikasi
Keterbatasan anggaran dan SDM jadi kendala sertifikasi desa wisata tersendat
DENPASAR,NusaBali
Menjelang pembukaan Bali dari wisatawan mancanegara (wisman) pada Juni-Juli mendatang ada pekerjaan rumah yang belum rampung digarap. Yakni sebagian besar Desa Wisata di Bali hingga saat ini belum tersertifikasi protokol kesehatan (prokes) atau menerapkan Cleanlinnes Healthy Safety and Environment Sustainability (CHSE).
Padahal, hal itu merupakan syarat mutlak untuk memberi rasa aman dan nyaman bagi wisman dalam melakukan kunjungannya ke berbagai desa wisata yang tersebar di Pulau Dewata.
Karena itu Forum Komunikasi Desa Wisata (Forkom Dewi) Bali meminta Pemkab/Pemkot di Bali memfasilitasi semua desa wisata untuk diverifikasi dan sertifikasi protokol kesehatan(prokes), untuk penanggulangan pandemi Covid-19.
Ketua Forkom Dewi Provinsi Bali I Made Mendra Astawa mengatakan sertifikasi prokes atau CHSE jelas merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk mendukung reopening Bali untuk wisman.
“Sebagai destinasi baru, desa wisata harus mendapat atensi tak kalah serius," kata Mendra Astawa, Rabu(29/4).
Apalagi belakangan wisata desa merupakan salah satu trend pasar wisata yang semakin menjadi pilihan, selain pasar wisata yang sudah ada sebelumnya.
"Di tengah pandemi potensi ini (wisata desa) juga mesti dirawat. Jangan diabaikan," ucapnya.
Berapa desa wisata yang sudah maupun yang belum tersertifikasi prokes atau CHSE, Mendra Astawa tidak memastikan.
“Baru beberapa yang tersertifikasi. Sebagian besar belum," ujarnya. Sedang desa wisata di seluruh Bali jumlahnya mencapai 177.
Dikatakan Mendra Astawa, keterbatasan anggaran/dana dan SDM merupakan faktor yang menyebabkan sertifikasi prokes/CHSE desa wisata tersendat. Namun apapun itu, tegas Mendra sertifikasi harus dilakukan karena merupakan 'syarat' mendukung pemulihan kembali pariwisata Bali pasca Covid-19.
Mengacu perkembangannya, desa wisata dibagi dalam 4 katagori. Yakni Desa Wisata Rintisan, Desa Wisata Berkembang, Desa Wisata Maju dan Desa Wisata Mandiri.
Walau sebagian besar belum tersertifikasi, Mendra Atmaja yakin fakta di lapangan pengelola desa wisata sudah paham dan menerapkan prokes/CHSE. Alasannya sosialisasi dan kampanye prokes/CHSE oleh pemerintah dan pemangku kepentingan berlangsung masif dan berkelanjutan. Kemudian kesadaran dari pengelola atau manajemen tentang pentingnya prokes/CHSE.
Hanya untuk kesahihanya perlu sertifikasi oleh Pemerintah maupun pihak-pihak yang punya otoritas dan kompetensi.
"Pemkab/Pemkot agar bisa membantu sertifikasi ini," harapnya. Walau mungkin sulit karena persoalan keterbatasan anggaran dan SDM, namun sertifikasi desa wisata harus dilakukan.
"Yang sudah sertifikasi, mungkin desa wisata yang sudah mandiri," duga Mendra Astawa. Sebagai contoh desa wisata di Bali diantaranya Desa Wisata Pengelipuran di Bangli, Desa Wisata Bakas, di Kabupaten Klungkung, Desa Wisata Munduk di Buleleng, Desa Wisata Taro di Tegallalang dan lainnya. *K17
Padahal, hal itu merupakan syarat mutlak untuk memberi rasa aman dan nyaman bagi wisman dalam melakukan kunjungannya ke berbagai desa wisata yang tersebar di Pulau Dewata.
Karena itu Forum Komunikasi Desa Wisata (Forkom Dewi) Bali meminta Pemkab/Pemkot di Bali memfasilitasi semua desa wisata untuk diverifikasi dan sertifikasi protokol kesehatan(prokes), untuk penanggulangan pandemi Covid-19.
Ketua Forkom Dewi Provinsi Bali I Made Mendra Astawa mengatakan sertifikasi prokes atau CHSE jelas merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk mendukung reopening Bali untuk wisman.
“Sebagai destinasi baru, desa wisata harus mendapat atensi tak kalah serius," kata Mendra Astawa, Rabu(29/4).
Apalagi belakangan wisata desa merupakan salah satu trend pasar wisata yang semakin menjadi pilihan, selain pasar wisata yang sudah ada sebelumnya.
"Di tengah pandemi potensi ini (wisata desa) juga mesti dirawat. Jangan diabaikan," ucapnya.
Berapa desa wisata yang sudah maupun yang belum tersertifikasi prokes atau CHSE, Mendra Astawa tidak memastikan.
“Baru beberapa yang tersertifikasi. Sebagian besar belum," ujarnya. Sedang desa wisata di seluruh Bali jumlahnya mencapai 177.
Dikatakan Mendra Astawa, keterbatasan anggaran/dana dan SDM merupakan faktor yang menyebabkan sertifikasi prokes/CHSE desa wisata tersendat. Namun apapun itu, tegas Mendra sertifikasi harus dilakukan karena merupakan 'syarat' mendukung pemulihan kembali pariwisata Bali pasca Covid-19.
Mengacu perkembangannya, desa wisata dibagi dalam 4 katagori. Yakni Desa Wisata Rintisan, Desa Wisata Berkembang, Desa Wisata Maju dan Desa Wisata Mandiri.
Walau sebagian besar belum tersertifikasi, Mendra Atmaja yakin fakta di lapangan pengelola desa wisata sudah paham dan menerapkan prokes/CHSE. Alasannya sosialisasi dan kampanye prokes/CHSE oleh pemerintah dan pemangku kepentingan berlangsung masif dan berkelanjutan. Kemudian kesadaran dari pengelola atau manajemen tentang pentingnya prokes/CHSE.
Hanya untuk kesahihanya perlu sertifikasi oleh Pemerintah maupun pihak-pihak yang punya otoritas dan kompetensi.
"Pemkab/Pemkot agar bisa membantu sertifikasi ini," harapnya. Walau mungkin sulit karena persoalan keterbatasan anggaran dan SDM, namun sertifikasi desa wisata harus dilakukan.
"Yang sudah sertifikasi, mungkin desa wisata yang sudah mandiri," duga Mendra Astawa. Sebagai contoh desa wisata di Bali diantaranya Desa Wisata Pengelipuran di Bangli, Desa Wisata Bakas, di Kabupaten Klungkung, Desa Wisata Munduk di Buleleng, Desa Wisata Taro di Tegallalang dan lainnya. *K17
Komentar