Sistem Hitung Pemilu Berbasis Teknologi
Komisi I DPRD Bali Nilai Efektif, Juga Antisipasi 'Hantu' Pemilu
Komisi I DPRD Bali menilai kualitas demokrasi dari tahun ke tahun makin berbenah, namun untuk sistem hitung hasil pemilu belum berbenah.
DENPASAR, NusaBali
Pemilu serentak tahun 2024 masih 3 tahun lagi. Namun perhatian wakil rakyat sangat serius untuk perbaikan pelaksanaan demokrasi di Bali. Komisi I DPRD Bali mendesak KPU Bali mengusulkan ke KPU RI sebuah regulasi untuk evaluasi sistem hitung berbasis teknologi karena lebih efektif pada saat pemilu serentak 2024 mendatang. Kasus Anggota Bawaslu dan Anggota KPU serta awak penyelenggara yang sampai meninggal dunia akibat kelelahan ditengarai karena sistem penghitungan suara yang tidak efektif.
Sekretaris Komisi I DPRD Bali membidangi hukum, politik dan keamanan, I Made Suparta, dihubungi NusaBali, Rabu (5/5) siang mengatakan KPU Bali harus berani mempelopori sistem pemilu dengan basis teknologi dan memperpendek pola rekapitulasi hasil pemilu. Sementara hantu pemilu yang gentayangan saat proses penghitungan suara di TPS (tempat pemungutan suara) juga jadi sorotan Komisi I DPRD Bali.
Menurut Suparta kualitas demokrasi dari tahun ke tahun makin berbenah. Namun untuk sistem hitung hasil pemilu belum berbenah. Ke depan harus ada sistem penghitungan yang efektif. "Kalau bisa menggunakan teknologi seperti negara maju lainnya. Karena yang konvensional banyak kendala. Berapa ratus orang penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu meninggal dunia akibat kelelahan saat proses rekapitulasi suara. Mereka bekerja siang malam," ujar Suparta.
Ditegaskan Suparta penghitungan suara hasil pemilu dengan pola konvensional di Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga bisa diganti dengan penerapan teknologi. "Kalau bisa cukup selesai di TPS, dengan mempergunakan teknologi. Sehingga akurasi dan kecepatan data bisa terwujud. Ini juga sekaligus mengurangi human error," ujar politisi PDIP asal Desa Dajan Peken, Kecamatan/Kabupaten Tabanan ini.
Suparta yang advokat ini mendorong juga sistem penghitungan suara hasil pemilu yang bertahap dari TPS, ke Kecamatan, serta berakhir di Kabupaten/Kota. "Kalau bisa ya selesai di TPS langsung ke Kabupaten dan Kota. Saya melihat langsung bagaimana penyelenggara di dalam tahapan penghitungan berjenjang itu mendapatkan tekanan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik, dan tidak disadari menghancurkan demokrasi yang jujur dan adil," tegas Wakil Sekretaris Bidang Eksternal DPD PDIP Provinsi Bali ini.
Terkait dengan permintaan KPU Bali yang mengajukan permohonan anggaran program dalam penyelenggaraan pemilu menurut Suparta sepanjang ada kemampuan daerah tidaklah menjadi soal. "Pelaksanaan pemilu serentak untuk Pileg kita tahu sampai memerlukan dana Rp 86 triliun, Pilkada serentak Rp 45 triliun. Ya memang itu sudah risiko untuk pelaksanaan demokrasi. Kami siap membantu penganggaran yang cepat dan cermat untuk kepentingan demokrasi yang berkualitas di Bali," ujar Suparta.
Sementara secara terpisah Anggota Komisi I DPRD Bali, I Ketut Rochineng menyebutkan dugaan kemunculan hantu pemilu atau hantu politik di saat proses rekapitulasi suara sering terjadi. Hantu pemilu atau hantu politik ini bisa mengubah hasil penghitungan.
"Pada Pileg 2024, saya menyaksikan langsung bagaimana listrik di TPS di Buleleng mati sampai 3 jam. Ini kasus yang tidak boleh terjadi. Komputer error tidak boleh terjadi. Kalau listrik sudah mati 3 jam, bisa saja menjadi kemunculan hantu-hantu politik yang mencederai demokrasi," ujar politisi PDIP asal Desa Patemon, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng ini.
Rochineng menegaskan juga kasus hantu politik muncul di proses penghitungan suara ketika pemilu serentak 2024 lalu, perlu menjadi perhatian awak penyelenggara yakni KPU, dengan mencari pola penghitungan yang efektif. Terutama mencegah dugaan manipulasi data suara.
"Kita mengingatkan saja, karena saya punya pengalaman langsung," ujar mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali ini. Sementara Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan dikonfirmasi NusaBali menyebutkan sistem hitung berbasis teknologi bisa saja diterapkan. Semuanya kembali kepada regulasi. "Kami siap saja, sepanjang regulasinya mendukung. Namun perlu diingat banyak negara maju juga kembali ke sistem konvensional dalam pungut hitung pemilu, karena tetap ada kelemahannya juga," ujar Lidartawan.
Lidartawan mengatakan untuk kasus-kasus kemunculan hantu-hantu politik saat di TPS, Lidartawan menegaskan bisa diusut ketika ada bukti. "Kami mengalami saat di Pileg 2024 lalu, ketika ada peserta pemilu yang protes dan menyebut ada kecurangan, kita minta tunjukan buktinya. TPS di mana, kejadiannya bagaimana? Ya yang bersangkutan tidak bisa menunjukan buktinya, hanya mendapatkan info sekilas. Ya nggak bisa kalau hanya kabar berita. Kalau ada bukti otentik pasti kita proses," ujar mantan Ketua KPU Kabupaten Bangli ini. *nat
Sekretaris Komisi I DPRD Bali membidangi hukum, politik dan keamanan, I Made Suparta, dihubungi NusaBali, Rabu (5/5) siang mengatakan KPU Bali harus berani mempelopori sistem pemilu dengan basis teknologi dan memperpendek pola rekapitulasi hasil pemilu. Sementara hantu pemilu yang gentayangan saat proses penghitungan suara di TPS (tempat pemungutan suara) juga jadi sorotan Komisi I DPRD Bali.
Menurut Suparta kualitas demokrasi dari tahun ke tahun makin berbenah. Namun untuk sistem hitung hasil pemilu belum berbenah. Ke depan harus ada sistem penghitungan yang efektif. "Kalau bisa menggunakan teknologi seperti negara maju lainnya. Karena yang konvensional banyak kendala. Berapa ratus orang penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu meninggal dunia akibat kelelahan saat proses rekapitulasi suara. Mereka bekerja siang malam," ujar Suparta.
Ditegaskan Suparta penghitungan suara hasil pemilu dengan pola konvensional di Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga bisa diganti dengan penerapan teknologi. "Kalau bisa cukup selesai di TPS, dengan mempergunakan teknologi. Sehingga akurasi dan kecepatan data bisa terwujud. Ini juga sekaligus mengurangi human error," ujar politisi PDIP asal Desa Dajan Peken, Kecamatan/Kabupaten Tabanan ini.
Suparta yang advokat ini mendorong juga sistem penghitungan suara hasil pemilu yang bertahap dari TPS, ke Kecamatan, serta berakhir di Kabupaten/Kota. "Kalau bisa ya selesai di TPS langsung ke Kabupaten dan Kota. Saya melihat langsung bagaimana penyelenggara di dalam tahapan penghitungan berjenjang itu mendapatkan tekanan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik, dan tidak disadari menghancurkan demokrasi yang jujur dan adil," tegas Wakil Sekretaris Bidang Eksternal DPD PDIP Provinsi Bali ini.
Terkait dengan permintaan KPU Bali yang mengajukan permohonan anggaran program dalam penyelenggaraan pemilu menurut Suparta sepanjang ada kemampuan daerah tidaklah menjadi soal. "Pelaksanaan pemilu serentak untuk Pileg kita tahu sampai memerlukan dana Rp 86 triliun, Pilkada serentak Rp 45 triliun. Ya memang itu sudah risiko untuk pelaksanaan demokrasi. Kami siap membantu penganggaran yang cepat dan cermat untuk kepentingan demokrasi yang berkualitas di Bali," ujar Suparta.
Sementara secara terpisah Anggota Komisi I DPRD Bali, I Ketut Rochineng menyebutkan dugaan kemunculan hantu pemilu atau hantu politik di saat proses rekapitulasi suara sering terjadi. Hantu pemilu atau hantu politik ini bisa mengubah hasil penghitungan.
"Pada Pileg 2024, saya menyaksikan langsung bagaimana listrik di TPS di Buleleng mati sampai 3 jam. Ini kasus yang tidak boleh terjadi. Komputer error tidak boleh terjadi. Kalau listrik sudah mati 3 jam, bisa saja menjadi kemunculan hantu-hantu politik yang mencederai demokrasi," ujar politisi PDIP asal Desa Patemon, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng ini.
Rochineng menegaskan juga kasus hantu politik muncul di proses penghitungan suara ketika pemilu serentak 2024 lalu, perlu menjadi perhatian awak penyelenggara yakni KPU, dengan mencari pola penghitungan yang efektif. Terutama mencegah dugaan manipulasi data suara.
"Kita mengingatkan saja, karena saya punya pengalaman langsung," ujar mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali ini. Sementara Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan dikonfirmasi NusaBali menyebutkan sistem hitung berbasis teknologi bisa saja diterapkan. Semuanya kembali kepada regulasi. "Kami siap saja, sepanjang regulasinya mendukung. Namun perlu diingat banyak negara maju juga kembali ke sistem konvensional dalam pungut hitung pemilu, karena tetap ada kelemahannya juga," ujar Lidartawan.
Lidartawan mengatakan untuk kasus-kasus kemunculan hantu-hantu politik saat di TPS, Lidartawan menegaskan bisa diusut ketika ada bukti. "Kami mengalami saat di Pileg 2024 lalu, ketika ada peserta pemilu yang protes dan menyebut ada kecurangan, kita minta tunjukan buktinya. TPS di mana, kejadiannya bagaimana? Ya yang bersangkutan tidak bisa menunjukan buktinya, hanya mendapatkan info sekilas. Ya nggak bisa kalau hanya kabar berita. Kalau ada bukti otentik pasti kita proses," ujar mantan Ketua KPU Kabupaten Bangli ini. *nat
Komentar