MUTIARA WEDA : Mengikatkan Diri Dengan Prakrti
Sebagaimana halnya ombak, buih, dan gelembung tidak berbeda dengan air, demikian juga alam semesta, yang berasal dari Sang Diri, adalah tidak berbeda dengan Sang Diri.
Yathā na toyato bhinnās tarangāh fena bud-budāh,
ātmano na tathā bhinnam visva mātma vinir gatam.
(Astāvakra Gitā, II.4)
Memasuki ajaran Vedanta itu susah-susah gampang. Ajaran ini sangat gampang karena telah ada pada setiap sudut dimana dan kemanapun kita memandang. Teks seperti di atas hanya sebuah indikasi saja, sementara ajaran yang sebenarnya tertulis di setiap sudut kehidupan kita. Jadi, tentu ini sangat mudah karena dimanapun kita berada, ajaran tersebut juga selalu ada. Kita hanya perlu menemukan dan kemudian membacanya. Namun susahnya adalah mengenali ajaran itu, sebab kita hidup tidak ubahnya seperti ikan yang ada di lautan mencoba bertanya tentang keberadaan air. Oleh karena sejak awal telah menyatu dan menjadi bagian dengan kita, ajaran itu tidak mampu kita kenali dan kemudian sibuk mencarinya.
Ajaran Vedanta pada prinsipnya adalah pengetahuan tentang Sang Diri, yang orang Hindu menyebutnya sebagai Atman, summum bonum dari diri kita dan sekaligus juga sum total dari keberadaan ini. Advaita Vedanta memandang bahwa yang nyata adalah Brahman, dan Atman tidak berbeda dari Brahman. Ini artinya adalah Diri kita yang sejati adalah Brahman itu sendiri. Sehingga apapun yang tampak ataupun tidak tampak merupakan satu dengan Brahman. Teks di atas mencontohkan bahwa buih yang muncul di dalam ombak sesungguhnya tidak berbeda degan air. Dapat dikatakan bahwa buih adalah air itu sendiri. Demikian juga alam semesta yang tampak ini adalah Brahman itu sendiri. Maka dari itu, apapun yang disebut dengan ciptaan Tuhan (Ishvara) pada prinsipnya adalah Tuhan (Ishvara) itu sendiri. Buih hanyalah sebuah penampakan saja dari air oleh karena sebuah proses di dalam ombak. Dengan cara yang sama alam semesta ini adalah tampaknya saja demikian oleh karena sebuah proses tertentu di dalam prakrti. Apa yang ada sesungguhnya hanya Brahman.
Tetapi mengapa kita tidak mampu mengenali itu semua sebagai Brahman? Oleh karena kita belum mengenali Diri kita yang sejati. Sekali kita mampu mengenali diri kita yang sebenarnya, maka kita secara otomatis akan menyadari bahwa semua yang ada tidak berbeda dengan kita. Kita merasa terpisah hanya karena identifikasi diri kita yang salah. Kita tidak mampu mengenali diri sebagai Atman, tetapi sebagai bagian dari Prakrti ini. Salah satu sifat dari prakrti adalah hadirnya dualitas kehidupan, seperti susah-senang, baik-buruk, dan yang lainnya. Sehingga dengan demikian, karena kita mengidentifikasi diri sebagai prakrti, maka kita juga senantiasa terjebak di dalam dualitas kehidupan itu sendiri. Kita akan senantiasa mengalami suka dan duka silih berganti.
Seperti halnya kehidupan orang Bali secara tradisi, mereka mengikatkan diri pada banyak aspek, seperti terikat pada kehidupan religius beserta dengan ritusnya, mengikatkan diri pada leluhur, antusias terhadap benda-benda pusaka yang bertuah, menjunjung ajaran kadyatmikan dan yang lainnya. Selama ini, tradisi ini telah berjalan sangat baik dan sangat layak untuk diapresiasi dan dilestarikan. Namun, kata ‘terikat’, ‘mengikatkan diri’, ‘antusias’ dan yang lainnya, terhadap sesuatu adalah sebuah upaya identifikasi terhadap sesuatu yang ada di luar diri. Dan, pengikatan diri terhadap sesuatu yang ada di luar diri pada prinsipnya adalah mengikatkan diri dengan prakrti. Sehingga, di Bali, kita tidak perlu heran mendengar dan melihat secara langsung orang pintar (Balian, dan yang sejenisnya) mengatakan bahwa masih ada leluhur orang tertentu belum mendapatkan jalan atau yang sejenisnya, demikian juga ada karang yang ditempati ‘manesin’ sehingga senantiasa terkena bencana, atau mungkin dalam perjalanan hidup orangtua kita belum lengkap membuatkan upacara samskara sehingga berefek pada datangnya malapetaka, dan seterusnya.
Jika kita menerima premis yang dinyatakan oleh Vedanta bahwa ‘identifikasi diri dengan prakrti menyebabkan kita terjebak dalam dualitas kehidupan’, maka apapun jenis kegiatan yang dilakukan dengan jalan ‘mengikatkan diri’, itu artinya mengidentifikasi dengan prakrti. Hanya ‘dalam’ dan ‘dengan’ prakrti itu sendiri ‘pengikatan diri’ bisa terjadi. Sehingga kesimpulannya “kita akan senantiasa terjebak di dalam dualitas kehidupan, kadang susah kadang senang dan seterusnya”.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
ātmano na tathā bhinnam visva mātma vinir gatam.
(Astāvakra Gitā, II.4)
Memasuki ajaran Vedanta itu susah-susah gampang. Ajaran ini sangat gampang karena telah ada pada setiap sudut dimana dan kemanapun kita memandang. Teks seperti di atas hanya sebuah indikasi saja, sementara ajaran yang sebenarnya tertulis di setiap sudut kehidupan kita. Jadi, tentu ini sangat mudah karena dimanapun kita berada, ajaran tersebut juga selalu ada. Kita hanya perlu menemukan dan kemudian membacanya. Namun susahnya adalah mengenali ajaran itu, sebab kita hidup tidak ubahnya seperti ikan yang ada di lautan mencoba bertanya tentang keberadaan air. Oleh karena sejak awal telah menyatu dan menjadi bagian dengan kita, ajaran itu tidak mampu kita kenali dan kemudian sibuk mencarinya.
Ajaran Vedanta pada prinsipnya adalah pengetahuan tentang Sang Diri, yang orang Hindu menyebutnya sebagai Atman, summum bonum dari diri kita dan sekaligus juga sum total dari keberadaan ini. Advaita Vedanta memandang bahwa yang nyata adalah Brahman, dan Atman tidak berbeda dari Brahman. Ini artinya adalah Diri kita yang sejati adalah Brahman itu sendiri. Sehingga apapun yang tampak ataupun tidak tampak merupakan satu dengan Brahman. Teks di atas mencontohkan bahwa buih yang muncul di dalam ombak sesungguhnya tidak berbeda degan air. Dapat dikatakan bahwa buih adalah air itu sendiri. Demikian juga alam semesta yang tampak ini adalah Brahman itu sendiri. Maka dari itu, apapun yang disebut dengan ciptaan Tuhan (Ishvara) pada prinsipnya adalah Tuhan (Ishvara) itu sendiri. Buih hanyalah sebuah penampakan saja dari air oleh karena sebuah proses di dalam ombak. Dengan cara yang sama alam semesta ini adalah tampaknya saja demikian oleh karena sebuah proses tertentu di dalam prakrti. Apa yang ada sesungguhnya hanya Brahman.
Tetapi mengapa kita tidak mampu mengenali itu semua sebagai Brahman? Oleh karena kita belum mengenali Diri kita yang sejati. Sekali kita mampu mengenali diri kita yang sebenarnya, maka kita secara otomatis akan menyadari bahwa semua yang ada tidak berbeda dengan kita. Kita merasa terpisah hanya karena identifikasi diri kita yang salah. Kita tidak mampu mengenali diri sebagai Atman, tetapi sebagai bagian dari Prakrti ini. Salah satu sifat dari prakrti adalah hadirnya dualitas kehidupan, seperti susah-senang, baik-buruk, dan yang lainnya. Sehingga dengan demikian, karena kita mengidentifikasi diri sebagai prakrti, maka kita juga senantiasa terjebak di dalam dualitas kehidupan itu sendiri. Kita akan senantiasa mengalami suka dan duka silih berganti.
Seperti halnya kehidupan orang Bali secara tradisi, mereka mengikatkan diri pada banyak aspek, seperti terikat pada kehidupan religius beserta dengan ritusnya, mengikatkan diri pada leluhur, antusias terhadap benda-benda pusaka yang bertuah, menjunjung ajaran kadyatmikan dan yang lainnya. Selama ini, tradisi ini telah berjalan sangat baik dan sangat layak untuk diapresiasi dan dilestarikan. Namun, kata ‘terikat’, ‘mengikatkan diri’, ‘antusias’ dan yang lainnya, terhadap sesuatu adalah sebuah upaya identifikasi terhadap sesuatu yang ada di luar diri. Dan, pengikatan diri terhadap sesuatu yang ada di luar diri pada prinsipnya adalah mengikatkan diri dengan prakrti. Sehingga, di Bali, kita tidak perlu heran mendengar dan melihat secara langsung orang pintar (Balian, dan yang sejenisnya) mengatakan bahwa masih ada leluhur orang tertentu belum mendapatkan jalan atau yang sejenisnya, demikian juga ada karang yang ditempati ‘manesin’ sehingga senantiasa terkena bencana, atau mungkin dalam perjalanan hidup orangtua kita belum lengkap membuatkan upacara samskara sehingga berefek pada datangnya malapetaka, dan seterusnya.
Jika kita menerima premis yang dinyatakan oleh Vedanta bahwa ‘identifikasi diri dengan prakrti menyebabkan kita terjebak dalam dualitas kehidupan’, maka apapun jenis kegiatan yang dilakukan dengan jalan ‘mengikatkan diri’, itu artinya mengidentifikasi dengan prakrti. Hanya ‘dalam’ dan ‘dengan’ prakrti itu sendiri ‘pengikatan diri’ bisa terjadi. Sehingga kesimpulannya “kita akan senantiasa terjebak di dalam dualitas kehidupan, kadang susah kadang senang dan seterusnya”.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
Komentar