Tarif PPN Naik, Daya Beli Masyarakat Turun
INDEF meminta pemerintah menunda rencana kenaikan PPN terkait dampak pandemi
JAKARTA, NusaBali
Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sedang dibahas pemerintah ditolak berbagai kalangan. Pemerintah dinilai harus memahami bahwa kondisi masyarakat masih susah akibat pandemi COVID-19. Menaikkan tarif PPN dalam kondisi sekarang hanya akan membuat harga barang semakin mahal, ujung-ujungnya menurunkan daya beli masyarakat.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim mengatakan kenaikan tarif PPN itu akan berdampak kepada kenaikan harga barang yang otomatis semakin mahal.
"Kalau ada penyesuaian tarif atau kenaikan tarif dari 10% menjadi 15% maka tentunya akan terjadi kenaikan harga barang," kata Rizal dalam webinar bertajuk 'PPN 15%, Perlukah Di Masa Pandemi?', seperti dilansir detikcom, Selasa (11/5).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, dalam pasal 3 ayat 7 disebutkan bahwa tarif pajak dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Rizal menilai kenaikan PPN sangat tidak tepat dilakukan. Pasalnya kenaikan harga akan semakin menurunkan daya beli masyarakat yang tentunya akan memperlambat pemulihan ekonomi dalam negeri pasca pandemi COVID-19.
"Sebagai informasi PPN ini dibayarkan oleh konsumen, dibebankan kepada konsumen, maka harga barang itu akan semakin menekan daya beli yang sudah tertekan, semakin tertekan lagi. Terjadi kenaikan inflasi yang sebetulnya semu. Ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Jika sudah begitu, penyerapan tenaga kerja otomatis akan menurun. "Utilisasi dan penjualan melemah, otomatis akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja, akan turun," kata Peneliti Center of Industry Trade, and Investment (CITI) INDEF, Ahmad Heri Firdaus menambahkan.
Belum lagi pendapatan rumah tangga yang juga akan naik. "Kalau dari sisi rumah tangga pendapatan masyarakat ini turun hampir di semua kelompok rumah tangga baik desa dan kota, jadi tidak ada yang mengalami kenaikan satu pun," imbuhnya.
Dari sisi industri, pasti akan memerlukan modal kerja tambahan yang semakin sulit diperoleh hingga menekan tingkat utilisasi industri. Atas dasar itu lah kenaikan PPN disebut tidak akan memberikan manfaat baik untuk masyarakat maupun bagi pemerintah.
Karena itu Rizal meminta pemerintah menunda rencana kenaikan PPN.
"Kebijakan menaikkan PPN ini tidak ada yang salah, benar-benar saja. Masalahnya satu, waktunya nggak tepat, itu masalah. Dalam konstruksi teknokratik selalu ada timing di situ yang harus jadi salah satu pertimbangan," katanya.
Jika kenaikan tarif PPN benar direalisasikan dalam waktu dekat, pemerintah dinilai tidak memiliki sense of crisis.
"Dari sisi psikologis sosial, sangat tidak peka. Sense of crisis-nya nggak ada. Sebaiknya dipertimbangkan untuk ditunda sementara sampai situasi penanganan pandemi bisa relatif terkendali dan kepercayaan diri masyarakat sudah mulai tumbuh, mungkin kita baru berpikir bagaimana pengenaan dan pungutan-pungutan lain. Jadi empati ini harus ada," tutur Rizal.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. Di saat ekonomi sedang mencoba bangkit dari pandemi COVID-19 yang belum tahu kapan akan berakhir, kebijakan itu dinilai dapat merusak laju pertumbuhannya.
"Harus dikaji ulang, kalau perlu dibatalkan karena memang sampai tahun 2022-2023 sekali pun kita masih periode pemulihan ekonomi dan kita belum tahu kapan COVID ini selesai. Jangan sampai di tengah situasi ini justru memancing air keruh dan masyarakat yang pada akhirnya dirugikan," imbuhnya. *
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim mengatakan kenaikan tarif PPN itu akan berdampak kepada kenaikan harga barang yang otomatis semakin mahal.
"Kalau ada penyesuaian tarif atau kenaikan tarif dari 10% menjadi 15% maka tentunya akan terjadi kenaikan harga barang," kata Rizal dalam webinar bertajuk 'PPN 15%, Perlukah Di Masa Pandemi?', seperti dilansir detikcom, Selasa (11/5).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, dalam pasal 3 ayat 7 disebutkan bahwa tarif pajak dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Rizal menilai kenaikan PPN sangat tidak tepat dilakukan. Pasalnya kenaikan harga akan semakin menurunkan daya beli masyarakat yang tentunya akan memperlambat pemulihan ekonomi dalam negeri pasca pandemi COVID-19.
"Sebagai informasi PPN ini dibayarkan oleh konsumen, dibebankan kepada konsumen, maka harga barang itu akan semakin menekan daya beli yang sudah tertekan, semakin tertekan lagi. Terjadi kenaikan inflasi yang sebetulnya semu. Ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Jika sudah begitu, penyerapan tenaga kerja otomatis akan menurun. "Utilisasi dan penjualan melemah, otomatis akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja, akan turun," kata Peneliti Center of Industry Trade, and Investment (CITI) INDEF, Ahmad Heri Firdaus menambahkan.
Belum lagi pendapatan rumah tangga yang juga akan naik. "Kalau dari sisi rumah tangga pendapatan masyarakat ini turun hampir di semua kelompok rumah tangga baik desa dan kota, jadi tidak ada yang mengalami kenaikan satu pun," imbuhnya.
Dari sisi industri, pasti akan memerlukan modal kerja tambahan yang semakin sulit diperoleh hingga menekan tingkat utilisasi industri. Atas dasar itu lah kenaikan PPN disebut tidak akan memberikan manfaat baik untuk masyarakat maupun bagi pemerintah.
Karena itu Rizal meminta pemerintah menunda rencana kenaikan PPN.
"Kebijakan menaikkan PPN ini tidak ada yang salah, benar-benar saja. Masalahnya satu, waktunya nggak tepat, itu masalah. Dalam konstruksi teknokratik selalu ada timing di situ yang harus jadi salah satu pertimbangan," katanya.
Jika kenaikan tarif PPN benar direalisasikan dalam waktu dekat, pemerintah dinilai tidak memiliki sense of crisis.
"Dari sisi psikologis sosial, sangat tidak peka. Sense of crisis-nya nggak ada. Sebaiknya dipertimbangkan untuk ditunda sementara sampai situasi penanganan pandemi bisa relatif terkendali dan kepercayaan diri masyarakat sudah mulai tumbuh, mungkin kita baru berpikir bagaimana pengenaan dan pungutan-pungutan lain. Jadi empati ini harus ada," tutur Rizal.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. Di saat ekonomi sedang mencoba bangkit dari pandemi COVID-19 yang belum tahu kapan akan berakhir, kebijakan itu dinilai dapat merusak laju pertumbuhannya.
"Harus dikaji ulang, kalau perlu dibatalkan karena memang sampai tahun 2022-2023 sekali pun kita masih periode pemulihan ekonomi dan kita belum tahu kapan COVID ini selesai. Jangan sampai di tengah situasi ini justru memancing air keruh dan masyarakat yang pada akhirnya dirugikan," imbuhnya. *
Komentar