Dulu Pelabuhan Dagang, Kini City Tour
Jejak Memori di Eks Pelabuhan Buleleng
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945-1950, kawasan Pelabuhan Buleleng masih menjadi momok atas kejayaan Buleleng.
SINGARAJA, NusaBali
Kawasan eks Pelabuhan Buleleng, salah satu tinggalan kolonial Belanda di Bali utara atau Kabupaten Buleleng. Pelabuhan ini berlokasi di Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Pada abad ke-18, pelabuhan pernah menjadi pusat pelabuhan dagang dunia. Pelabuhan ini tinggal kenangan, tak lagi berfungsi untuk tempat kapal bersandar. Kawasan ini kini ditetapkan sebagai salah satu destinasi tempat wisata (DTW) City Tour Singaraja.
Sejarawan yang juga dosen Undiksha Singaraja I Made Pageh, menjelaskan eks Pelabuhan Buleleng tak dapat lepas dari sejarah penjajahan Belanda. Namun sebelum dikuasai kolonial Belanda, kawasan eks Pelabuhan Buleleng sudah dimanfaatkan sebagai pelabuhan tradisional sejak zaman kerajaan. “Pelabuhan pantai utara Bali ini, sesuai catatan dokumen Belanda, sebelum dikuasi kolonial, disewa oleh syahbandar Cina. Belanda baru bisa menguasai pelabuhan ini setelah memenangkan perang Jagaraga II pada tahun 1849,” ujar I Made Pageh, Kamis (6/5) sore.
Dia pun menyebutkan Belanda tertarik menjajah Buleleng karena mendengar isu kawasan tersebut sering didatangi pedagang Inggris. Belanda juga mendengar isu Inggris ingin menjadikan Singaraja seperti Singapura kedua. Inggris saat itu telah menjadikan pelabuhan Buleleng sebagai pelintasan jalur pelayarannya. Dari Singapura menuju Surabaya kemudian Buleleng, Ampenan, Lombok hingga Australia.
Belanda, jelas Made Pageh, setelah berhasil menguasai Buleleng pada tahun 1849, meneruskan ambisinya dan menjadikan Pelabuhan Buleleng menjadi pusat perdagangan di Bali pada tahun 1850. Belanda kemudian melebarkan sayap jajahan hingga ke NTB. Hanya saja pada masa itu pengelolaan pelabuhan perdagangan itu dikendalikan dari Besuki, Jawa Timur.
Keberadaan Pelabuhan Buleleng sebagai pusat perdagangan terus berkembang. Bahkan pelabuhan ini dahulu adalah titik bongkar muat barang ekspor - impor dari Bali, khususnya Buleleng. Tahun 1880an, Buleleng sudah mengekspor sejumlah komoditas hasil perkebunan dan pertanian. Ekspor terbesarnya adalah kopi, kopra, gula aren, kacang-kacangan termasuk sayur mayur juga dikirim sampai ke Makasar. ‘’Sedangkan ekspor sapi paling banyak jumlahnya menurut catatan Belanda,” imbuh Made Pageh.
Keberadaan Pelabuhan Buleleng meskipun saat itu dikuasi Belanda, paparnya, mendatangkan pendapatan dan kesejahteraan luar biasa untuk penduduk Buleleng. Jumlah impor emas yang menjadi komoditas impor tertinggi Buleleng dan candu, menunjukkan kesejahteraan masyarakat Buleleng, terutama kalangan menengah ke atas.
Kemudian setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945-1950, kawasan Pelabuhan Buleleng masih menjadi momok atas kejayaan Buleleng. Terlebih Buleleng sempat dijadikan Ibu Kota Soenda Ketjil yang mewilayahi Bali, NTB dan NTT. Eksistensi Pelabuhan Buleleng dengan sejuta sejarahnya mulai memudar sejak tahun 1958, dengan dipindahkannya pusat kota ke Bali selatan lengkap dengan kantor administrasi.
“Setelah tahun 1958 dari Ibu Kota Soenda Ketjil berubah menjadi kabupaten. Buleleng mulai ‘dipreteli’ dengan pemindahan pusat ibu kota ke Bali selatan. Pelabuhan kapal dibawa ke Benoa, Bandar Udara di bangun di Badung. Pelabuhan Buleleng benar-benar mati. Tahun 1977 ada pembangunan Pelabuhan Celukan Bawang. Sejak itu sudah tidak ada kapal yang berlabuh di Pelabuhan Buleleng,” tutur Pageh.
Kini, eks Pelabuhan Buleleng masih menyimpan sejumlah bukti sejarah masa kejayaan Buleleng. Terutama dengan bangunan kolonial yang masih tersisa hingga saat ini. Menurut Made Pageh, sebenarnya ada bangunan kolonial yang sangat penting sebagai bukti penunjang Pelabuhan Buleleng tempo dulu. Yakni, bangunan gudang barang Belanda yang saat ini sudah berubah menjadi Gedung Serba Guna Mr I Gusti Ketut Poedja.
Sedangkan bangunan tua yang masih tersisa hanya kantor UPTD Eks Pelabuhan Buleleng dan bangunan Museum Soenda Ketjil di depan monuman pahlawan Gede Merta. Satu lagi, Jembatan Belanda yang melengkung membentang di atas Tukad/Sungai Buleleng.
Oleh Pemkab Buleleng, sejak tahun 2000an, kawasan eks Pelabuhan Buleleng ditata menjadi DTW City Tour. Kawasan ini saat ini dikelola oleh dua instansi Pemkab Buleleng. Kawasan eks Pelabuhan Buleleng dikelola Dinas Pariwisata, dan Museum Soenda Ketjil dikelola oleh Dinas Kebudayaan. Sejauh ini, selain menjadi objek wisata manca negara, eks Pelabuhan Buleleng juga menjadi salah satu ojek wisata, terutama pengunjung lokal.
Sejauh ini pengembangan kawasan pariwisata ini dilengkapi dengan restoran ‘apung’ di pinggir laut. Selain menawarkan nilai sejarah kolonial yang dikemas dalam kunjungan City Tour, kawasan inijuga membuktikan penduduk Buleleng sangat heterogen. Kabupaten Buleleng dengan garis pantai terpanjang di Bali sejak zaman dulu dikenal sangat terbuka dengan pendatang. Di sekitar kawasan eks Pelabuhan Buleleng hingga kini masih menjadi pusat perdagangan dari keturunan Thionghoa, terutama sepanjang Jalan Surapati. Selain itu, di sisi selatan eks Pelabuhan Buleleng ada permukiman umat Muslim yang datang ke Buleleng dari jalur perdagangan.
Sebelum pandemi, Pemkab Buleleng, berencana mengembangkan DTW eks Pelabuhan Buleleng dengan wahana kekinian. Antara lain, tempat nongkrong dan pertunjukan seni budaya. Pengembangan kawasan wisata ini memang sempat diajukan dalam usulan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), hanya saja hingga saat ini belum dapat terwujud.
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng I Gede Dody Sukma Oktiva Askara mengatakan, pengembangan kawasan eks Pelabuhan Buleleng juga sudah dirancang. Untuk menunjang kunjungan Dinas Kebudayaan berencana akan memuka Museum Soenda Ketjil hingga malam hari. “Kunjungan lokal biasanya ramai pada sore hingga malam hari. Maunya museum kami buka hingga malam. Termasuk pengelolaan roof top untuk tempat nongkrong. Tetapi saat ini masih terkendala anggaran pada masa pandemi. Mudah-mudahan tahun anggaran selanjutnya dapat terwujud,” kata dia. *lik
Sejarawan yang juga dosen Undiksha Singaraja I Made Pageh, menjelaskan eks Pelabuhan Buleleng tak dapat lepas dari sejarah penjajahan Belanda. Namun sebelum dikuasai kolonial Belanda, kawasan eks Pelabuhan Buleleng sudah dimanfaatkan sebagai pelabuhan tradisional sejak zaman kerajaan. “Pelabuhan pantai utara Bali ini, sesuai catatan dokumen Belanda, sebelum dikuasi kolonial, disewa oleh syahbandar Cina. Belanda baru bisa menguasai pelabuhan ini setelah memenangkan perang Jagaraga II pada tahun 1849,” ujar I Made Pageh, Kamis (6/5) sore.
Dia pun menyebutkan Belanda tertarik menjajah Buleleng karena mendengar isu kawasan tersebut sering didatangi pedagang Inggris. Belanda juga mendengar isu Inggris ingin menjadikan Singaraja seperti Singapura kedua. Inggris saat itu telah menjadikan pelabuhan Buleleng sebagai pelintasan jalur pelayarannya. Dari Singapura menuju Surabaya kemudian Buleleng, Ampenan, Lombok hingga Australia.
Belanda, jelas Made Pageh, setelah berhasil menguasai Buleleng pada tahun 1849, meneruskan ambisinya dan menjadikan Pelabuhan Buleleng menjadi pusat perdagangan di Bali pada tahun 1850. Belanda kemudian melebarkan sayap jajahan hingga ke NTB. Hanya saja pada masa itu pengelolaan pelabuhan perdagangan itu dikendalikan dari Besuki, Jawa Timur.
Keberadaan Pelabuhan Buleleng sebagai pusat perdagangan terus berkembang. Bahkan pelabuhan ini dahulu adalah titik bongkar muat barang ekspor - impor dari Bali, khususnya Buleleng. Tahun 1880an, Buleleng sudah mengekspor sejumlah komoditas hasil perkebunan dan pertanian. Ekspor terbesarnya adalah kopi, kopra, gula aren, kacang-kacangan termasuk sayur mayur juga dikirim sampai ke Makasar. ‘’Sedangkan ekspor sapi paling banyak jumlahnya menurut catatan Belanda,” imbuh Made Pageh.
Keberadaan Pelabuhan Buleleng meskipun saat itu dikuasi Belanda, paparnya, mendatangkan pendapatan dan kesejahteraan luar biasa untuk penduduk Buleleng. Jumlah impor emas yang menjadi komoditas impor tertinggi Buleleng dan candu, menunjukkan kesejahteraan masyarakat Buleleng, terutama kalangan menengah ke atas.
Kemudian setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945-1950, kawasan Pelabuhan Buleleng masih menjadi momok atas kejayaan Buleleng. Terlebih Buleleng sempat dijadikan Ibu Kota Soenda Ketjil yang mewilayahi Bali, NTB dan NTT. Eksistensi Pelabuhan Buleleng dengan sejuta sejarahnya mulai memudar sejak tahun 1958, dengan dipindahkannya pusat kota ke Bali selatan lengkap dengan kantor administrasi.
“Setelah tahun 1958 dari Ibu Kota Soenda Ketjil berubah menjadi kabupaten. Buleleng mulai ‘dipreteli’ dengan pemindahan pusat ibu kota ke Bali selatan. Pelabuhan kapal dibawa ke Benoa, Bandar Udara di bangun di Badung. Pelabuhan Buleleng benar-benar mati. Tahun 1977 ada pembangunan Pelabuhan Celukan Bawang. Sejak itu sudah tidak ada kapal yang berlabuh di Pelabuhan Buleleng,” tutur Pageh.
Kini, eks Pelabuhan Buleleng masih menyimpan sejumlah bukti sejarah masa kejayaan Buleleng. Terutama dengan bangunan kolonial yang masih tersisa hingga saat ini. Menurut Made Pageh, sebenarnya ada bangunan kolonial yang sangat penting sebagai bukti penunjang Pelabuhan Buleleng tempo dulu. Yakni, bangunan gudang barang Belanda yang saat ini sudah berubah menjadi Gedung Serba Guna Mr I Gusti Ketut Poedja.
Sedangkan bangunan tua yang masih tersisa hanya kantor UPTD Eks Pelabuhan Buleleng dan bangunan Museum Soenda Ketjil di depan monuman pahlawan Gede Merta. Satu lagi, Jembatan Belanda yang melengkung membentang di atas Tukad/Sungai Buleleng.
Oleh Pemkab Buleleng, sejak tahun 2000an, kawasan eks Pelabuhan Buleleng ditata menjadi DTW City Tour. Kawasan ini saat ini dikelola oleh dua instansi Pemkab Buleleng. Kawasan eks Pelabuhan Buleleng dikelola Dinas Pariwisata, dan Museum Soenda Ketjil dikelola oleh Dinas Kebudayaan. Sejauh ini, selain menjadi objek wisata manca negara, eks Pelabuhan Buleleng juga menjadi salah satu ojek wisata, terutama pengunjung lokal.
Sejauh ini pengembangan kawasan pariwisata ini dilengkapi dengan restoran ‘apung’ di pinggir laut. Selain menawarkan nilai sejarah kolonial yang dikemas dalam kunjungan City Tour, kawasan inijuga membuktikan penduduk Buleleng sangat heterogen. Kabupaten Buleleng dengan garis pantai terpanjang di Bali sejak zaman dulu dikenal sangat terbuka dengan pendatang. Di sekitar kawasan eks Pelabuhan Buleleng hingga kini masih menjadi pusat perdagangan dari keturunan Thionghoa, terutama sepanjang Jalan Surapati. Selain itu, di sisi selatan eks Pelabuhan Buleleng ada permukiman umat Muslim yang datang ke Buleleng dari jalur perdagangan.
Sebelum pandemi, Pemkab Buleleng, berencana mengembangkan DTW eks Pelabuhan Buleleng dengan wahana kekinian. Antara lain, tempat nongkrong dan pertunjukan seni budaya. Pengembangan kawasan wisata ini memang sempat diajukan dalam usulan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), hanya saja hingga saat ini belum dapat terwujud.
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng I Gede Dody Sukma Oktiva Askara mengatakan, pengembangan kawasan eks Pelabuhan Buleleng juga sudah dirancang. Untuk menunjang kunjungan Dinas Kebudayaan berencana akan memuka Museum Soenda Ketjil hingga malam hari. “Kunjungan lokal biasanya ramai pada sore hingga malam hari. Maunya museum kami buka hingga malam. Termasuk pengelolaan roof top untuk tempat nongkrong. Tetapi saat ini masih terkendala anggaran pada masa pandemi. Mudah-mudahan tahun anggaran selanjutnya dapat terwujud,” kata dia. *lik
1
Komentar