Desa Adat Dibolehkan Kerja Sama dengan Pihak Ketiga
Ranperda BUPDA Mulai Dibahas DPRD Bali
DENPASAR, NusaBali
Desa adat di Bali diusulkan boleh mengelola wewidangan (wilayah) dalam bentuk pengelolaan utsaha (usaha) dengan pihak ketiga.
Ketentuan ini diusulkan untuk diatur dalam draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA), yang kini tengah digodok DPRD Bali.
Hal itu terungkap dalam rapat perdana Pansus Ranperda BUPDA DPRD Bali di Gedung Dewan, Niti Mandala Denpasar, Selasa (18/5) siang. Rapat kemarin dipimpin Ketua Pansus Ranperda BUPDA DPRD Bali I Gusti Putu Budiarta alias Gung De, dari Fraksi PDIP. Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali, I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Saputra, juga ikut hadir dalam rapat Pansus Ranperda BUPDA tersebut.
Dalam rapat untuk membedah pasal per pasal Ranperda BUPDA kemarin, ditegaskan BUPDA nantinya akan berdiri sendiri menjadi sebuah holding yang terpisah dari lembaga usaha desa adat yang sudah ada selama ini, yakni Labda Pecingkreman Desa (LPD). Dalam Ranperda, nantinya BUPDA diusulkan boleh melakukan kerja sama usaha dengan pihak ketiga, memanfaatkan potensi yang ada di wewida-ngan desa adat masing-masing.
Adalah anggota Pansus Ranperda BUPDA dari Fraksi Gerindra, I Wayan Disel Astawa, yang mengusulkan klausul desa adat bisa kerja sama secara luas dengan pihak ketiga tersebut. Kerja sama dengan pihak ketiga dibolehkan, sepanjang memberikan keuntungan secara ekonomi buat desa adat, tidak menganggu eksistensi desa adat, dan diatur dengan perarem (aturan yang berlaku di desa adat).
"Kerja sama dengan pihak ketiga ini untuk menggali potensi wewidangan. Hal ini membuka lapangan kerja di desa adat dan memajukan desa adat agar Berdikari secara ekonomi. Kerja samanya harus menguntungkan desa adat. Jadi, kita benar-benar menjadi tuan rumah di rumah sendiri," jelas politisi Disel Astawa, yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali.
Disel Astawa mencontohkan Desa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung di potensi alam di wewidangan desa adat setempat berupa pantai dikelola melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama tersebut dilakukan secara profesional, mengacu dengan regulasi yang jelas.
"Misalnya, pengelolaan Pantai Melasti di wewidangan Desa Adat Ungasan yang diatur dengan perarem yang memberikan keuntungan bagi desa adat. Ini tidak masalah, karena dasar hukumnya ada, yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil," terang politisi yang juga menjabat Bendesa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan ini.
Menurut Disel Astawa, dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 diatur pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir serta perairan pulau-pulau kecil pada wilayah masyarakat hukum adat dan menjadi kewenangan masyarakat hukum adat setempat. "Artinya, desa adat punya kewenangan dalam pemanfaatan dan pengelolaan ruang serta sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, yang dila-kukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tegas Disel Astawa yang juga menjabat Ketua DPC Gerindra Badung.
Sementara itu, anggota Pansus Ranperda BUPDA DPRD Bali dari Fraksi PDIP, I Nyoman Budi Utama, mengatakan sangat apresiasi dengan pihak eksekutif (Pemprov Bali) yang mendorong Ranperda BUPDA ini. Budi Utama mengusulkan dalam pasal-pasal Ranperda BUPDA ini mengatur keberadaan unit holding, lengkap dengan pola pengawasan.
"Kami sepakat supaya di desa adat punya unit usaha yang bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat desa adat. Bisa kerja sama dengan badan usaha dan pihak ketiga. Ini menuju penguatan ekonomi masyarakat di desa adat. Tentunya nanti tetap ada lembaga pengawas yang profesional," ujar Budi Utama.
Budi Utama menegaskan, untuk pendirian badan usaha dalam bentuk BUPDA ini nantinya ada Saka (pengawas badan usaha) dan Sabha Utsaha (pembina badan usaha) dengan ex officio pengawasnya adalah bendesa adat. "Klausul ini penting untuk pengelolaan usaha secara profesional. Selain itu kita harapkan juga memanfaatkan lembaga audit profesional yang independen," ujar politisi asal Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Bangki yang juga menjabat Wakil Bendahara DPD PDIP Bali ini.
Di sisi lain, Kadis PMA Provinsi Bali,IGA Ketut Kartika Jaya Saputra, mengatakan BUPDA yang akan diatur dalam Ranperda ini merupakan upaya membentuk dan mengatur badan usaha milik desa adat, dengan prinsip-prinsip Agama Hindu Bali, adat, dan budaya Bali. "Prinsip-prinsip tata kelola yang baik, prinsip kehati-hatian. Memanfaatkan peluang ekonomi di desa adat," jelas Kartika Jaya.
Kartika Jaya juga membeber bahwa BUPDA menjadi sarana mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di desa adat untuk bisa berkompetisi di desa adat dan luar desa adat. "BUPDA ini akan membangun kerja sama ekonomi antara desa adat, krama adat, dan pihak lain di Provinsi Bali," papar birokrat asal Desa Gubug, Kecamatan Tabanan ini.
Sedangkan Ketua Pansus Ranperda BUPDA DPRD Bali, I Gusti Putu Budiarta alias Gung De, mengatakan rapat kerja membahas Ranperda BUPDA ini merupakan rapat perdana. Rapat ini untuk merangkum usulan dari anggota Pansus berdasarkan aspirasi di masyarakat.
"Pada intinya, ide dan usulan Pansus saat ini untuk BUPDA, agar diperkuat dengan konsep dan napas Agama Hindu, adat, dan budaya Bali," ujar politisi senior PDIP asal Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan ini.
Ketua Komisi IV DPRD Bali ini menegaskan, Pansus Ranperda BUPDA akan secepatnya menyelesaikan Ranperda BUPDA ini. "Nanti Pansus akan bekerja secara marathon membedah draft dan pasal-pasal. Kita targetkan Ranperda BUPDA ini tuntas secepatnya," terang politisi yang juga menjabat sebagai Bendesa Adat Pedungan ini. *nat
Komentar