Pandemi di Bali, Pekerja Swasta Beralih Jadi Petani Rumput Laut
DENPASAR, NusaBali.com - Lebih setahun dihantam pandemi, para pekerja sektor pariwisata ataupun sektor terdampak lainnya di Bali mengalami kesulitan ekonomi.
Alih pekerjaan agar bisa terus mendapatkan nafkah pun dilakoni. Seperti yang terjadi di Pulau Serangan Denpasar Selatan. Kini eks pekerja pariwisata rame-rame menekuni profesi barunya sebagai petani rumput laut.
“Jumlah petai rumput laut di Serangan sebanyak 70 orang, dan sekitar 50 orang di antaranya adalah mereka yang dulunya adalah karyawan swasta,” kata Kepala Lingkungan Banjar Dukuh Serangan, I Made Miasa, Jumat (21/5/2021).
“Masing-masing dari mereka punya areal rumput laut yang berbeda-beda. Ada yang punya dua petak dengan luas sekian are, ada yang tiga petak dan sebagainya,” sambung I Made Miasa.
Luasan lahan yang menjadi tempat budidaya rumput laut di kawasan Serangan sendiri mencapai 2 hektare. “Sejak tahun 2000an di Serangan sudah mulai membudidayakan rumput laut. Total petani rumput laut di sini ada 70 orang,” ungkap
Dalam membudidayakan rumput laut, menurutnya tidak membutuhkan waktu yang lama namun tidak juga singkat. “Sebenarnya kalau cuaca mendukung dan air yang bagus, ya dalam sebulan itu bisa panen rata-rata bisa sampai 100 kilogram. Kalau cuaca kurang bagus bisa sampai 1,5 bulan baru bisa dipanen,” ungkapnya.
Made Miasa mengatakan bahwa dalam membudidayakan rumput laut ini mendapat banyak kendala saat musim hujan. Beberapa rumput laut yang ditanam sempat mengalami kerusakan bentuk akibat diserang hama laut dan hujan yang terus turun yang mengakibatkan kualitas rumput laut menjadi menurun. “Waktu bulan Februari-Maret itu kami sempat mengalami masalah karena waktu itu Bali sedang hujan terus. Itu banyak yang rusak karena air hujan dan kesusahan juga menjemur rumput laut yang semestinya sudah bisa dipanen. Kalau masalah hama laut itu bisa diakali dengan mengganti tali yang dipakai sebelumnya dengan tali baru agar lebih bersih dan rumput laut bisa menyerap nutrisi di air laut dengan lebih baik,” ucap Kepala Lingkungan berusia 39 tahun tersebut.
“Kalau mau buat areal untuk menanam rumput laut ini, bisa buat sendiri, boleh juga bayar orang untuk minta bantuan dibuatkan, ada juga yang beli areal milik org lain karena dia mengambil alih,” jelas Miasa.
Masyarakat Pulau Serangan sendiri lebih tahan banting terhadap kondisi perekonomian Pulau Dewata yang dihantam pandemi Covid-19.
Bagi mereka yang menggeluti sektor rumput laut misalnya, tidak terpengaruh dengan ada tidaknya wisatawan ke Pulau Dewata. “Zaman dulu kami punya orangtua yang kurang mampu, jadi sejak kecil memang sudah bekerja sebagai petani rumput laut,” ucap Nyoman Santun, salah satu petani rumput laut saat ditemui Kamis (20/5/2021).
Karena keadaan, maka masyarakat mengoptimalkan pemanfaatan wilayah Serangan yang memiliki kekayaan laut. “Kami tidak mampu juga untuk menempuh pendidikan, makanya satu-satunya pekerjaan yang bisa dijalani sejak saat itu sebagai petani ini,” tambah Nyoman Santun.
Meskipun di tengah pandemi, Nyoman Santun mengaku tidak begitu terpengaruh pada penghasilan karena tidak terlalu mengalami penurunan namun juga tidak begitu naik. “Biasanya ada pengepul yang membawa rumput laut ke Pasar Kumbasari dan Pasar Sanglah untuk dijual,” ucapnya.
Rumput laut ini biasanya dijadikan olahan makanan seperti sayur. “Seberapa banyaknya rumput laut yang dipanen juga tergantung cuaca dan gelombang air. Kalau cuaca sedang tidak bagus dan gelombang besar, ya susah kita carinya,” imbuhnya.
Sebelum sektor pariwisata menjadi primadona di Bali, masyarakat Serangan memang sudah menekuni pekerjaan yang berhubungan dengan laut seperti menjadi petani rumput laut ataupun nelayan penangkap ikan. Saat ini di tengah situasi pariwisata yang lesu, beberapa orang yang sebelumnya melakoni pekerjaan di dunia pariwisata, mulai menekuni budidaya rumput laut.
Sebagai petani rumput laut yang memang sudah dijalani puluhan tahun, Nyoman Santun mengatakan bahwa penghasilan yang didapatkan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan makan.
“Tapi untuk mulai usaha ini, modalnya lumayan untuk membeli jukung, mesin, benih itu kira-kira butuh modal sampai Rp 25 jutaan,” ucap perempuan berusia 46 tahun tersebut.
Di kawasan Serangan, rumput laut yang paling banyak dibudidayakan adalah jenis rumput laut kotoni dan agar-agar. “Benihnya masih bisa diperoleh di Bali. Tapi kalau rumput laut liar setiap hari bisa dicari tergantung pasang surut air, setelah dapat ya dibersihkan dulu dan bisa langsung dijual,” katanya.
Berbeda dengan rumput laut hijau yang siap dijual, sebaliknya rumput laut putih memerlukan proses selama lima hari baru bisa dijual. Nyoman Santun menyebutkan bahwa penjualan dari rumput laut tersebut biasa dibanderol dengan harga Rp 15.000 per kilogramnya.
Selain sektor budi daya rumput laut, desa Serangan juga memiliki sektor andalan lainnya seperti nelayan jaring. “Kami cuma punya laut, mayoritas pendapatannya dari laut. Bahkan banyak yang datang ke sini sampai malam untuk mencari ikan atau sekadar mencari umpan untuk memancing. Pasti ada saja yang mereka dapat dan dibawa pulang. Walaupun kami punya banyak penghasilan laut, yang paling ada prospeknya sebenarnya rumput laut ini,” ujarnya.
Sementara itu menyikapi kembali bergairahnya budidaya rumput laut, Made Miasa berharap agar sektor ini bisa mendapatkan perhatian lebih baik dari pemerintah. “Masyarakat juga harus menyadari akan prospek yang dimiliki dari sektor tersebut,” tuntasnya. *mil
Komentar