Kaum Milenial Gandrungi Swagina Bendega
Kiprah Nelayan Kedonganan Saat Pandemi
MANGUPURA, NusaBali
Swagina bendega (pekerjaan menangkap ikan/nelayan) di kawasan pariwisata di Bali, sempat didera suram. Kondisi ini sempat dirasakan Kelompok Nelayan Segara Ayu di kawasan Pantai Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung. Maklum, karena pertumbuhan pariwisata di Bali amat pesat. Nelayan lebih mudah cari uang di sektor pariwisata, tinimbang adu nasib di laut dengan penuh risiko.
Karena pariwisata, banyak nelayan meninggalkan aktivitas yang diwariskan secara temurun itu. Mereka memilih bekerja di sejumlah hotel dan akomodasi pariwisata. Namun, setelah mencuatnya wabah global Covid-19, kondisi itu justru memberikan pukulan keras yang menyebabkan aktivitas pariwisata lumpuh total. Hal ini pun membuat masyarakat kelimpungan dan kembali menekuni dunia yang dulu mereka tinggalkan. Menariknya, dari sebagian besar yang bergabung di kelompok nelayan yang bermarkas di pesisir Timur Kedonganan itu didominasi kaum milenial.
Wakil Ketua Kelompok Nelayan Segara Ayu I Ketut Adi Suila,43, menerangkan kelompok nelayan Segara Ayu mulai eksis sejak tahun 2005. Namun semenjak perkembangan pariwisata Bali, satu per satu nelayan meninggalkan aktivitas mencari ikan, kepiting dan udang. Anggota kelompok ini dulunya ratusan orang. Hingga akhir 2019 tercatat aktif 65 orang, kebanyakan tua-tua. Tidak ada anak muda yang mau meneruskan warisan dari nenek moyang ini. ‘’Semuanya sudah beralih ke pariwisata dan bekerja di hotel, restoran dan bar,” ungkapnya saat ditemui di Pantai Timur Kedonganan, Jumat (28/5) sore.
Meski bergerak di tengah keterbatasan anggota, Kelompok Nelayan Segara Ayu tetap solid, terutama menjaga lahan mangrove seluas 6 hektare. Kelompok nelayan ini kerap menggelar kegiatan pemungutan sampah, penanaman mangrove dan lainnya agar kondisi pesisir timur Kedonganan itu tetap terjaga. Hal ini karena kelompok tersebut tahu betul mangrove yang tumbuh subur itu bisa memberikan berbagai macam kebutuhan mereka dan menjadikan penghasilan. “Kelompok kami ini menggantungkan hidup dari mangrove ini. Anggota kami tidak susah mencari ikan atau pun udang, semuanya sudah ada di sini. Jadi, alam kalau kita jaga, pasti alam juga akan memberikan apa yang kita inginkan,” cetus Ketut Adi Suila.
Seiring berjalannya waktu pada awal tahun 2020, wabah global Covid-19 mencuat dan menyebabkan lumpunya pariwisata. Satu per satu warga Kedonganan yang dulunya pernah banting stir bekerja di sektor pariwisata, kini sudah mulai kembali ke Kelompok Nelayan Segara Ayu. Tercatat Mei 2021, ada 171 anggota, didominasi kaum milenial.
Jelas Adi Suila, kondisi saat ini mengharuskan krama bertahan. Saat ini, anak-anak muda beraktivitas seperti nelayan. Mereka mencari udang, kepiting, kerang, dan lainnya. ‘’Semuanya membaur dan mencari di lahan mangrove ini,” imbuh Adi Suila mengaku, banyaknya anak muda mengikuti kegiatan nelayan praktis menjadi momen untuk mengedukasi mereka. Dia mengaku memberikan pemahaman dan edukasi pentingnya menjaga alam. Sehingga sebagai generasi penerus nelayan Kedonganan, diharapkan memiliki dedikasi yang tinggi dalam menjaga alam dari gempuran pembangunan yang merusak alam itu sendiri. Pasalnya, banyak tantangan yang harus dihadapi karena kemolekan alam di Pantai Timur Kedonganan ini. “Ini yang selalu saya ingatkan kepada adik-adik ini. Jangan sampai tergiur dengan tawaran-tawaran. Kita harus jaga baik-baik alam yang sudah memberikan kita makan secara turun temurun,” pesan Adi Suila.
Dia juga mengaku tidak menutup kemungkinkan untuk membuka berbagai peluang ke depannya di kawasan itu, salah satunya dengan mengkombinasikan kegiatan tradisional dengan pariwisata. Rencana ini juga sudah sejalan dengan yang dicanangkan Bendesa Adat Kedonganan I Wayan Mertha. Hanya saja, dia tetap menggarisbawahi jangan sampai hal itu merusak alam. “Kalau peluang untuk pariwisata berbasis kegiatan tradisional boleh saja. Karena kami di sini memiliki lokasi yang sangat cantik. Belum terlalu banyak di Indonesia yang menampilkan kegiatan seperti tur di area mangrove menggunakan sampan atau kano,” bebernya seraya mengakui sudah ada beberapa masyarakat atau wisatawan yang datang untuk menjajaki kegiatan itu.
Terpisah, Bendesa Adat Kedonganan I Wayan Mertha mengaku terus mendorong masyarakat Kedonganan untuk kembali melaut. Apalagi, sejarah panjang dari masyarakat sendiri hidup dari hasil laut. Momentum pandemi ini, bisa melakoni aktivitas melaut seperti sediakala. “Dulu krama kita di Kedonganan ini banyak yang nelayan. Tapi, seiring berjalannya waktu, ada pergeseran dan mulai bergelut di dunia pariwisata. Sehingga, aktivitas melaut itu sudah mulai di tinggalkan secara perlahan,” ungkap Wayan Mertha.
Diceritakan, hampir 80 persen krama Desa Adat Kedonganan yang dulunya sebagai nelayan, namun beralih profesi menjadi pemilik, pengelola dan karyawan di 24 warung ikan bakar yang saat ini berada di kawasan Pantai Kedonganan. “Karena adanya pergeseran, akhirnya tinggalkan semua aktivitas melaut. Nah, saat ini kondisi ini sudah tidak menentu. Pariwisata sangat terdampak karena pandemi ini. Krama kita juga kesusahan dalam menggerakkan roda perekonomian. Makanya kami mendorong agar Krama kembali melaut dan menekuni lagi aktivitas yang dulu,” harap Mertha. *tian
1
Komentar