MUTIARA WEDA : Pelajari, Kemudian Tinggalkan
Seorang murid yang cerdas, setelah belajar teks dan setelah melakukan refleksi terhadap ide yang ada di dalamnya secara terus-menerus, dia kemudian harus membuang seluruh teks, seperti halnya seorang pencari bulir-bulir padi membuang kulitnya.
Grantham abhyasa medhāvi vicārya ca punah punah
Palālam iva dhyānyārthi tyajet grantham asesatah
(Pancadasi)
Adi Sankaracharya dalam karyanya, Pancadasi, menguraikan hal yang tidak umum, bahkan sebaliknya bertentangan dengan kebiasaan orang. Selama ini, orang melakukan banyak hal adalah untuk menjadi semakin dekat dengan apa yang dilakukannya. Maksudnya, orang mengerjakan sesuatu merupakan sebuah upaya untuk mengikatkan diri terhadap sesuatu itu. Seperti misalnya, orang bekerja keras siang dan malam, merupakan upaya mendekatkan diri dengan kekayaan dan terjalin di dalam kekayaan itu. Ia ingin mengidentifikasi dirinya sebagai orang kaya. Demikian juga, orang belajar banyak dalam rangka untuk berpengatahuan. Oleh karena ia banyak belajar, ia kemudian disebut sebagai orang terpelajar. Pelajaran itu kemudian menjadi identitas dirinya.
Demikian juga orang memuja Tuhan merupakan upaya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, sehingga mereka layak disebut orang yang berketuhanan. Orang mengikuti detail agama oleh karena ingin menjadikan dirinya religius dan disebut orang religius. Di Bali sendiri, orang berupaya mencari tahu kawitan, dalam upaya untuk identitas siapa leluhur yang dipujanya. Antara leluhur dan keturunan ini ada semacam ikatan luar biasa yang tidak bisa dilepaskan. Hampir setiap soroh/gotra memiliki pesan atau piteket atau bisama, bahwa keturunan dari gotra tertentu harus melakukan sesuatu dan atau tidak melakukan sesuatu lainnya. Seperti misalnya, salah satu soroh/gotra di Bali dilarang memakan waluh atau gotra lainnya diwajibkan tangkil (datang) ke beberapa tempat, khususnya pura yang ditunjuk. Patita atau kutukan akan mengenai mereka yang berani tidak tangkil ke pura tersebut. Sehingga mereka yang merasa menjadi keturunan dari gotra tersebut tidak berani melanggar hal itu.
Demikian seterusnya, apapun yang dilakukan biasanya secara umum kita melakat dengan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan tersebut, baik terhadap proses kegiatan itu sendiri maupun pada hasil dari kegiatan tersebut. Kita juga kalau mau melihat ke dalam diri, ketika belajar sesuatu, kita biasanya terikat dengan apa yang kita pelajari. Kita bahkan fanatik dengan paham yang kita pelajari itu. Tidak sedikit bahwa pengetahuan yang kita pelajari lebih hebat dibandingkan dengan pengetahuan orang lain. Kita sering merasa bahwa dengan pengetahuan tersebut kita merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. Kita menjadikan pengetahuan tersebut sebagai sebuah mercusuar yang demikian tinggi.
Namun teks di atas menegaskan kepada kita bahwa teks apapun yang telah dipelajari dan direfleksi secara terus-menerus, maka segera setelah itu kita tinggalkan. Bagi teks di atas, apapun yang menjadikan kita mengetahui pada prinsipnya adalah sebuah alat. Mengapa demikian, karena diri kita sesungguhnya adalah realitas pengetahuan itu sendiri. Kita belajar tidak dalam rangka untuk mengikatkan diri dengan pengetahuan dari teks yang kita pelajari, melainkan menemukan pengetahuan primal yang memang telah laten ada di dalam diri. Apapun data yang bersifat empiris maupun rasional hanyalah sebuah alat untuk menemukan pengetahuan yang ada di dalam diri.
Oleh karena demikian, segera setelah melakukan refleksi dan pengetahuan Sang Diri telah terpancing keluar, maka semua teks harus ditinggalkan. Jika tidak, dia akan menjadi gangguan. Orang tidak mampu mencapai pembebasan oleh karena masih terikat dengan ajarannya. Ajaran, apapun bentuknya tidak ubahnya seperti pancing, memancing agar ikan pengetahuan yang ada di dalam diri bersinar kembali. Jika pancing telah dimakan oleh ikan, maka fokus kita terletak pada ikannya. Jika kemudian fokus kita pada pancing dan ikannya dibiarkan begitu saja menggelayut, maka sia-sialah kita mancing ikan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
(Pancadasi)
Adi Sankaracharya dalam karyanya, Pancadasi, menguraikan hal yang tidak umum, bahkan sebaliknya bertentangan dengan kebiasaan orang. Selama ini, orang melakukan banyak hal adalah untuk menjadi semakin dekat dengan apa yang dilakukannya. Maksudnya, orang mengerjakan sesuatu merupakan sebuah upaya untuk mengikatkan diri terhadap sesuatu itu. Seperti misalnya, orang bekerja keras siang dan malam, merupakan upaya mendekatkan diri dengan kekayaan dan terjalin di dalam kekayaan itu. Ia ingin mengidentifikasi dirinya sebagai orang kaya. Demikian juga, orang belajar banyak dalam rangka untuk berpengatahuan. Oleh karena ia banyak belajar, ia kemudian disebut sebagai orang terpelajar. Pelajaran itu kemudian menjadi identitas dirinya.
Demikian juga orang memuja Tuhan merupakan upaya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, sehingga mereka layak disebut orang yang berketuhanan. Orang mengikuti detail agama oleh karena ingin menjadikan dirinya religius dan disebut orang religius. Di Bali sendiri, orang berupaya mencari tahu kawitan, dalam upaya untuk identitas siapa leluhur yang dipujanya. Antara leluhur dan keturunan ini ada semacam ikatan luar biasa yang tidak bisa dilepaskan. Hampir setiap soroh/gotra memiliki pesan atau piteket atau bisama, bahwa keturunan dari gotra tertentu harus melakukan sesuatu dan atau tidak melakukan sesuatu lainnya. Seperti misalnya, salah satu soroh/gotra di Bali dilarang memakan waluh atau gotra lainnya diwajibkan tangkil (datang) ke beberapa tempat, khususnya pura yang ditunjuk. Patita atau kutukan akan mengenai mereka yang berani tidak tangkil ke pura tersebut. Sehingga mereka yang merasa menjadi keturunan dari gotra tersebut tidak berani melanggar hal itu.
Demikian seterusnya, apapun yang dilakukan biasanya secara umum kita melakat dengan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan tersebut, baik terhadap proses kegiatan itu sendiri maupun pada hasil dari kegiatan tersebut. Kita juga kalau mau melihat ke dalam diri, ketika belajar sesuatu, kita biasanya terikat dengan apa yang kita pelajari. Kita bahkan fanatik dengan paham yang kita pelajari itu. Tidak sedikit bahwa pengetahuan yang kita pelajari lebih hebat dibandingkan dengan pengetahuan orang lain. Kita sering merasa bahwa dengan pengetahuan tersebut kita merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. Kita menjadikan pengetahuan tersebut sebagai sebuah mercusuar yang demikian tinggi.
Namun teks di atas menegaskan kepada kita bahwa teks apapun yang telah dipelajari dan direfleksi secara terus-menerus, maka segera setelah itu kita tinggalkan. Bagi teks di atas, apapun yang menjadikan kita mengetahui pada prinsipnya adalah sebuah alat. Mengapa demikian, karena diri kita sesungguhnya adalah realitas pengetahuan itu sendiri. Kita belajar tidak dalam rangka untuk mengikatkan diri dengan pengetahuan dari teks yang kita pelajari, melainkan menemukan pengetahuan primal yang memang telah laten ada di dalam diri. Apapun data yang bersifat empiris maupun rasional hanyalah sebuah alat untuk menemukan pengetahuan yang ada di dalam diri.
Oleh karena demikian, segera setelah melakukan refleksi dan pengetahuan Sang Diri telah terpancing keluar, maka semua teks harus ditinggalkan. Jika tidak, dia akan menjadi gangguan. Orang tidak mampu mencapai pembebasan oleh karena masih terikat dengan ajarannya. Ajaran, apapun bentuknya tidak ubahnya seperti pancing, memancing agar ikan pengetahuan yang ada di dalam diri bersinar kembali. Jika pancing telah dimakan oleh ikan, maka fokus kita terletak pada ikannya. Jika kemudian fokus kita pada pancing dan ikannya dibiarkan begitu saja menggelayut, maka sia-sialah kita mancing ikan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
1
Komentar