Restorative Justice Dalam Penanganan Over Kapasitas Di lembaga Pemasyarakatan
Sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia saat ini masih mengalami berbagai macam permasalahan. Persoalan yang sering kali muncul adalah tentang over kapasitas, kondisi dimana jumlah penghuni melebihi jumlah dari kapasitas lapas.
Penulis : I Gede Eka Juniarta Yasa
ASN Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Tabanan
Fenomena kepadatan lapas di Indonesia sudah terjadi selama bertahun-tahun. Namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang pasti dalam menangani permasalahan tersebut. Pembangunan lapas baru nyatanya belum cukup efektif untuk membendung tingginya jumlah narapidana yang masuk ke dalam lapas setiap harinya. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang diperoleh melalui (http://smslap.ditjenpas.go.id) diketahui bahwa per tanggal 7 Juni 2021, kapasitas daya tampung maksimal seluruh lapas dan rutan dalam 33 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM berjumlah 135.664 orang, sedangkan warga binaan yang menghuni sejumlah 266,389 orang. Hal ini menunjukkan bahwa over kapasitas yang telah terjadi adalah sebesar 96%.
Banyak faktor yang mempengaruhi kepadatan penghuni lapas di Indonesia. Diantaranya seperti tingginya angka kriminalitas di masyarakat, overstaying tahanan, banyaknya pengguna narkotika yang ditahan dan tidak di rehabilitasi, serta belum maksimalnya proses alternatif pemidanaan atau pengganti penjara. Tingginya jumlah penghuni lapas nyatanya memberikan dampak serius seperti; meningkatnya beban anggaran biaya negara, kurang maksimalnya pelayanan dan pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), terganggunya kondisi psikologis WBP, hingga berpotensi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di dalam lapas.
Guna mengatasi persoalan tersebut, diperlukan adanya reformasi kebijakan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang memprioritaskan pada penyelesaian masalah pengelolaan lapas melalui penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana khususnya pelaku tindak pidana ringan. Restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu model penyelesaian perkara pidana yang prinsip utamanya adalah partisipasi korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus untuk memperbaiki perbuatan yang melawan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Tren di berbagai negara saat ini menunjukkan adanya penggunaan model-model penghukuman (punishment) alternatif yang menjauhkan dari pengunaan hukuman penjara. Keadilan restoratif lebih mengedepankan konsep perdamaian, mediasi, dan rekonsiliasi dimana seluruh pihak saling berpartisipasi dalam menyelesaikan perkara pidana. Hal ini berbanding terbalik dengan sistem peradilan pidana tradisional yang terkesan kaku dalam proses yang sangat panjang mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan bahkan hingga ke Mahkamah Agung.
Indonesia sudah mulai menerapkan restorative justice dalam menyelesaikan perkara di luar peradilan yang diaplikasikan dalam sistem peradilan anak sejak lahirnya Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sedangkan pada tindak pidana dewasa, restorative justice belum diterapkan secara langsung dalam sistem peradilan dewasa. Hampir seluruh putusan pada pengadilan tindak pidana dewasa berakhir di penjara. Pada sistem peradilan anak, keadilan restoratif banyak diterapkan mulai dari tahap pra ajudikasi dan ajudikasi, dilihat dari adanya upaya diversi pada tingkat penyidik dan peradilan anak. Diversi adalah proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Sedangkan pada tahap pasca ajudikasi, belum terlihat adanya pola pembinaan yang menggunakan pendekatan restorative justice. Jika kita melihat sistem peradilan dewasa di Indonesia, dengan putusan selalu berakhir pada hukuman penjara, sulit untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif pada tahap pra ajudikasi dan ajudikasi. Namun, bukan berarti tidak bisa untuk diaplikasikan sama sekali. Pada tahap pasca ajudikasi dapat menjadi lahan yang basah untuk menanam pendekatan restorative justice dalam mengembalikan kesadaran hukum narapidana dewasa.
Di berbagai negara maju, terutama di Amerika dan Kanada, pembinaan dengan menerapkan restorative justice ternyata berhasil dalam mengurangi tingkat over kapasitas lapas dan menghemat banyak anggaran pada tahap pasca ajudikasi. Restorative justice juga berhasil mengurangi tingkat residivis dan penolakan masyarakat terhadap narapidana yang kembali ke masyarakat. Melalui keterlibatan korban dan masyarakat dalam proses pembinaan, masyakarat menjadi lebih siap dalam menerima mantan narapidana untuk masuk kembali dalam lingkungan bermasyakarat.
Konsep keadilan restoratif sebenarnya telah lama di praktikkan masyarakat adat Indonesia, seperti di Bali, Minangkabau, Toraja dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang nilai kebudayaan. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, maka penyelesaian sengketa dilakukan di komunitas adat secara internal dengan perdamaian tanpa melibatkan aparat negara. Terbukti, mekanisme ini telah berhasil menjaga harmoni di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam permasalahan over kapasitas pada lapas. Pengurangan input narapidana yang masuk ke dalam lapas dapat dilaksanakan dengan memunculkan kebijakan-kebijakan pemidanaan yang tidak mengutamakan pemenjaraan sebagai satu-satunya bentuk penghukuman (punishment). Mengedepankan peluang alternatif pemidanaan non pemenjaraan dalam beberapa aspek, justru membuka hadirnya keadilan restoratif yang lebih menekankan perbaikan bagi korban, pelaku, dan masyarakat.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar