Terpidana Bali Rich Ajukan PK, Korban Minta Perlindungan Hukum
DENPASAR, NusaBali.com - Babak baru kasus pemalsuan akta jual beli Villa Bali Rich, enam terpidana mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) setelah sebelumnya telah divonis bersalah dan dihukum penjara di tingkat kasasi MA.
Sebelumnya, di tingkat banding, para terdakwa ini divonis bebas. Namun, MA dalam sidang kasasi memutuskan I Putu Adi Mahendra Putra dengan hukuman dua tahun penjara. Sementara, Asral, Suryady, dan I Hendro Nugroho Prawiro Hartono dihukum empat tahun enam bulan. Sedangkan Hartono dan Tri Endang dihukum empat tahun penjara.
Mereka berenam dinyatakan bersalah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu memalsukan akta jual beli Villa Bali Rich di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.
Keenam terdakwa ini pun telah dieksekusi ke Rutan Gianyar. Kuasa hukum para terdakwa, M Faisal, Kamis (10/6/2021). membenarkan telah mengajukan PK dengan novum yaitu bukti otentifikasi tanda tangan yang dikeluarkan grafologi yang menyatakan tanda tangan itu identik.
Pihaknya menilai hasil pemeriksaan tanda tangan oleh forensik kepolisian yang menyatakan tanda tangan tersebut palsu tidak sesuai protap. Di mana, pembanding tanda tangan itu harusnya sebanyak sembilan tanda tangan di tahun yang sama.
Novum lain yang diajukan adalah putusan perdata dari PN Denpasar yang mengatakan akta tersebut sah dan mengikat. Selain itu, dari 28 akta yang ditandatangani hanya tiga akta yang dinyatakan palsu.
Padahal, penandatanganan dilakukan pada konteks yang sama. Faisal mengatakan, PK yang diajukan keenam terdakwa itu kini sedang dalam proses pemeriksaan di MA.
Terkait pengajuan PK ini, pelapor, Hartati, membuat surat terbuka kepada Ketua Mahkamah Agung (MA), HM Syarifuddin, untuk meminta perlindungan hukum. Ia menyangsikan novum berupa dokumen uji otentifikasi tanda tangan (swasta) No GRAF2005-803 tanggal 8 Mei 2020.
“Dengan segala kerendahan hati, saya sangat memohon kepada Yang Mulia Ketua MA Bapak Dr HM Syarifuddin SH MH agar permohonan perlindungan hukum atas enam putusan kasasi pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), tetap berdiri tegak,” kata Haryati.
Dia menegaskan, surat asli yaitu surat jual beli saham antara Hartati-Suryady (21 Desember 2015 dan surat jual beli saham antara Hartati-Tri Endang Astuti tanggal (21 Desember 2015), dan Berita Acara RUPS PT Bali Rich Mandiri tanggal (21 Desember 2015).
Surat itu pun telah disita penyidik Mabes Polri sejak 6 Februari 2017. Bahkan putusan MA Nomor 534 K/Pid/2020 tanggal 30 Juni 2020 atas nama terdakwa notaris Hartono yang pada amarnya menetapkan barang bukti nomor 1-7 tetap terlampir dalam berkas perkara.
Dengan demikian, dalam kurun waktu tanggal 6 Februari 2017 hingga saat ini ketiga surat tersebut tidak berada di tangan pemohon PK. "Bagaimana lembaga LKP Grafologi (swasta) bisa melakukan uji otentifikasi tanda tangan pada 8 Mei 2021 tanpa ada surat asli," protesnya.
Diingatkan pula acuan Peraturan Kapolri 10/2009 tentang Tata Cara dan Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti, dalam pasal 80 ayat (2) disebutkan: "Dokumen yang dikirimkan adalah dokumen asli, bukan tindasan karbon, faks atau fotocopy.”
“Hasil kesimpulan dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli grafologi beserta tim terhadap tanda tangan saya (pada dokumen perjanjian jual beli) dinyatakan non-identik atau merupakan tanda tangan yang berbeda dengan tanda tangan asli saya," tegas Haryati.
Dia pun membuat surat terbuka yang ditembuskan ke sejumlah pihak. Di antaranya Presiden Jokowi, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Badan Pengawas MA, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit, Menkumham Yasonna Laoly, Ketua Pengadilan Tinggi Bali Ida Bagus Djagra, dan Ketua PN Gianyar. *rez
Komentar