MDA Siap Berikan Perlindungan Hukum
Tiga Bendesa Adat di Buleleng Diadukan ke Komnas HAM
SINGARAJA, NusaBali
Tiga bendesa adat di Buleleng masuk dalam list nama yang dilaporkan International Society Of Krishna Consciousness (ISKON) Indonesia ke Komnas HAM, karena dituding menghalangi mereka beribadah.
Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Buleleng pun siap memfasilitasi tiga bendesa adat yang dilaporkan ini untuk mendapatkan perlindungan hukum. Ketiga bendesa adat yang diadukan ISKON Indonesia ke Komnas HAM, masing-masing Bendesa Adat Bale Agung Tenaon (Desa Alasangker, Kecamatan Buleleng), Bendesa Adat Patemon (Desa Patemon, Kecamatan Seririt, Buleleng), dan Bendesa Adat Seririt (Kelurahan/Kecamatan Seririt, Buleleng). Selain mereka, Parisadha Desa Alasangker, Ketua BPD Alasangker, dan Desa Alasangker juga diadukan ke Komnas HAM.
Bendesa Madya MDA Kabupaten Buleleng, Dewa Putu Budarsa, mengaku sudah mengetahui soal laporan terhadap tiga bendesa adat ini. Dewa Budarsa pun berencana memanggil ketiga bendesa adat tersebut untuk diberikan support dan pemahaman, agar mereka tak terpuruk dengan laporan itu.
“Secara rinci kami belum tahu apa isi laporannya. Tetapi, kasus ini sudah ditangani MDA Provinsi Bali. Kami segera kirim laporan agar tiga bendesa adat yang disebut dalam pelaporan tersebut mendapat perlindungan hukum,” jelas Budarsa kepada NusaBali di Singaraja, Kamis (10/6).
Budarsa mengatakan laporan ke Komnas HAM ini diduga buntut dari penutupan sejumlah Ashram Hare Krishna di wilayah Buleleng, sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) MDA Provinsi Bali dan PHDI Provinsi Bali tentang Pembatasan Kegiatan Pengembangan Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali. Bahkan, kata Budarsa, SKB yang diterbitkan Desember 2020 itu juga dikuatkan dengan statemen Guber-nur Bali Wayan Koster untuk menutup Ashram Hare Krishna di wewidangan desa adat.
“Penutupan ashram yang dilakukan di Desa Adat Bale Agung Tenaon itu kesepakatan bersama. Bahkan, hadir pula pemilik ashram. Beda kasusnya kalau ada pemaksaan. Sehingga kami tetap akan berkoordinasi dengan MDA Provinsi yang menangani masalah ini dan mereka yang dilaporkan ke Komnas HAM dipastikan mendapat perlindungan hukum,” tegas Budarsa, seraya menyebut penanganan Ashram Hare Krishna di Buleleng selama ini sudah melalui tahapan, mulai dari pendekatan kepada pengelola, dilayangkan Surat Peringatan I, II, III, hingga penutupan.
Sementara itu, Bendesa Adat Bale Agung Tenaon, Ketut Sukerawa, mengatakan penutupan Ashram Hare Krishna di wewidangannya, akhir April 2021 lalu, adalah penutupan kegiatannya. “Penutupan yang kami lakukan itu berdasarkan atas kesepakatan tokoh masyarakat, BPD, PHDI, Perbekel, termasuk pengurus yayasan ashram tersebut,” jelas Sukerawa saat dikonfirmasi terpisah.
Sukerawa menggarisbawahi bahwa penutupan yang dilakukan adalah pembatasan kegiatan kepercayaan mereka, bukan penutupan ashram secara fisik. “Selain itu, kami mengambil tindakan berdasarkan SKB MDA Provinsi Bali dan PHDI Bali. Kami tunduk aturan provinsi dan konsisten dengan adat budaya Bali,” katanya.
Paparan senada disampaikan Perbekel Alasangker, Wayan Sitama. Menurut Sitama, laporan ke Komnas HAM itu sah-sah saja. Namun, Sitama berharap oknum atau organisasi yang melapor agar berpikir bijak, karena seluruh penutupan atau pembatasan ashram yang dilakukan di wewidangan desa adat merupakan kesepakatan bersama.
“Kami sebenarnya di pemerintahan desa dinas tak punya wewenang soal adat. Tetapi, karena situasi dan menjaga Kamtibmas di desa agar kondusif, kami ikut memfasilitasi laporan tokoh-tokoh dan desa adat, menyelesaikan persoalan di desa kami,” jelas Sitama.
Sitama mengatakan, selama berdirinya Ashram Hare Krishna di Banjar Bengkel, Desa Alasangker hingga ada penutupan dan pembatasan kegiatan upacara versi mereka, pihak desa maupun masyarakat setempat tak pernah ada yang mengusik dan melakukan gerakan fisik. Begitu pula saat penutupan kegiatan upacara disepakati, desa dinas dan desa adat tidak melakukan pemasangan spanduk penutupan, karena situasinya sangat kondusif dan saling memahami. *k23
Komentar