Kuasai Pupuh Dulu, Baru Bermain Arja
DENPASAR, NusaBali
Kriyaloka Tembang Macapat mengawali gelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIII Tahun 2021 di Wantilan Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu (13/6).
Tembang Macapat atau Pupuh menjadi salah satu komponen penting dalam dramatari arja, di mana pupuh dinilai sebagai media ungkap alur cerita dan menjadi jembatan komunikasi seperti prolog, monolog, dialog, hingga epilog setiap adegan. Jika ingin bermain arja, maka harus menguasai pupuh terlebih dulu.
Kriyaloka menghadirkan dua narasumber yang merupakan seniman alam yang sudah sangat mumpuni di bidang seni arja, yakni Sang Ketut Pesan Sandiyasa dan Ni Wayan Ranten. Meski keduanya merupakan seniman alam, namun banyak pesan yang diberikan saat kriyaloka kemarin, masing-masing dari mereka menunjukkan kemampuan mepupuh hingga membuat peserta kriyaloka terkesima.
Menurut Ni Wayan Ranten, pupuh dalam adegan cerita memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjalankan alur dari cerita. Pupuh yang memiliki karakternya masing-masing, akan disesuaikan dengan kebutuhan suasana maupun adegan. “Misalnya jika suasana marah maka menggunakan Pupuh Durma. Jika sedih menggunakan Semarandana, bercinta menggunakan Pupuh Ginanti, dan sebagainya,” jelasnya.
Karena perannya sangat mendalam dalam setiap pertunjukan dramatari arja, maka pupuh wajib dikuasai oleh para seniman yang akan terjun ke dalam dramatari klasik ini. Dalam pengaplikasiannya ke dramatari arja, pupuh lebih fleksibel karena bisa diolah. Berbeda dengan pupuh yang digunakan saat pesantian. Teknik mengolah pupuh ini dinamakan teknik nyampong, yang berguna menjadi media pengantar, penyambung, bahkan pemutus adegan dan alur cerita.
“Teknik nyampong mampu memberikan peluang kepada setiap pelantunnya dalam mengolah pupuh itu sendiri, baik dari segi padalingsa dan guru wilang. Namun untuk guru dingdong tidak dapat diolah karena menjadi identitas yang mendasar dalam setiap pupuh itu sendiri,” imbuh Ranten. Sementara Sang Ketut Pesan Sandiyasa menambahkan, dramatari arja sebaiknya menggunakan iringan tabuh geguntangan, karena iringan geguntangan akan mampu menyamaratakan tingkatan nada dari para seluruh pemain, dengan menggunakan patet suling yang berbeda-beda. Dengan demikian, nada pragina bisa seirama dengan iringan musiknya.
“Inilah yang menyebabkan kriteria dramatari arja pada setiap ajang PKB diimbau untuk klasik, agar mampu mempondasikan para pragina dramatari arja khususnya para generasi muda untuk mempelajari kesenian secara struktural,” kata Sandiyasa.
Di sisi lain, dia juga menjelaskan, bahwa pada adegan papeson bait pertama setiap pupuh praginanya berada di balik langse, sebagai tanda tokoh apa yang akan keluar. Inilah yang menyebabkan dengan mendengar baris pertama dari pupuh yang dilantunkan pragina, penonton atau pendengar sudah mampu menebak atau mengetahui tokoh apa yang akan keluar. “Fungsi pupuh sangat krusial inilah yang menjadikan keberadaan pupuh dalam drama tari aja sangat erat dari pertama hingga akhir pertunjukan,” tandasnya. *ind
Komentar