Pengusaha Wisata Tirta Keluhkan Jasa 'Gacong'
MANGUPURA, NusaBali
Aktivitas guide liar atau biasa disebut ‘gacong’ dikeluhkan para pengusaha wisata tirta di Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung.
Pasalnya, para gacong yang sering mangkal di Jalan Pratama ini kerap membuntuti wisatawan untuk menawarkan jasa. Camat Kuta Selatan Ketut Gede Arta, mengatakan aksi para gacong beberapa kali terekspos ke media sosial dan memicu kegaduhan. “Karena adanya aktivitas itu, kami lakukan rapat kemarin (Selasa) dengan mengundang tiga desa adat, yakni Tanjung Benoa, Tengkulung, dan Bualu. Masing-masing desa adat akan membuat semacam keputusan adat melalui paruman,” kata Gede Arta, Rabu (16/6).
Dari kesepakatan antara desa adat, sedikitnya ada 4 poin yang menjadi kesimpulan rapat. Pertama, pemerintah bersama dengan desa adat, pengusaha, dan masyarakat berkomitmen untuk mewujudkan keamanan dan kenyamanan berwisata di daerah tujuan wisata. Kedua, para pengusaha wisata tirta di Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Desa Adat Bualu, Desa Adat Tengkulung, dan Desa Adat Tanjung Benoa, sepakat untuk tidak menerima adanya jasa gacong. Ketiga, pengawasan terhadap poin 1 dan 2 dilakukan Satpol PP Badung, Dinas Pariwisata Badung, DPMPTSP Badung, Dinas Perhubungan, kepolisian, TNI, unsur kecamatan Kuta Selatan, kelurahan, desa adat, serta asosiasi pengusaha wisata tirta. “Sementara yang keempat, sanksi terhadap poin 1 dan 2 dikenakan sesuai perarem desa adat dan/atau peraturan perundang-undangan berlaku,” tegas Gede Arta.
Masih menurut Gede Arta, apa yang dilakukan ini bukanlah mencari siapa yang salah atau benar, karena yang diutamakan adalah citra pariwisata, melalui formulasi penyikapan permasalahan secara benar. Apalagi dalam waktu dekat sesuai rencana gerbang pariwisata internasional sudah mulai dibuka. “Dalam rapat juga muncul bahasa tawaran pekerjaan alternatif untuk orang-orang yang selama ini menjadi gacong,” kata Gede Arta.
Sementara terpisah, Bendesa Adat Tanjung Benoa I Made Wijaya alias Yonda, gacong adalah semacam pramuwisata bermotor, yang dalam praktiknya mereka menunggu di pinggiran jalan, dan langsung mengikuti orang yang dirasa berpotensi untuk berwisata water sport. Namun, cara menggaet wisatawan semacam itu mendapat keluhan dari wisatawan. Karena menimbulkan rasa takut. “Cara mereka itu dirasa tidak pantas. Tidak sedikit dari wisatawan yang mengaku kaget dan takut,” kata pria yang juga menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Badung itu.
Masih menurut Wijaya, gacong sendiri sebagai sebuah permasalahan lama yang tidak kunjung selesai. Bahkan, menurut dia, sudah lebih dari 10 tahun menjadi perhatian. Jika tidak dituntaskan, dia mengaku khawatir wisata water sport di wilayah Tanjung Benoa dan sekitarnya akan ditinggalkan. Sebab, rasa aman dan nyaman, menjadi hal yang sangat penting dalam dunia pariwisata.
“Apalagi tidak tertutup kemungkinan, yang menjadi korbannya adalah publik figur, termasuk pejabat tinggi. Jadi, kami berikan dukungan kepada para pimpinan lembaga terkait untuk serius menyelesaikan permasalahan ini,” harap Wijaya.
Wijaya juga sependapat bahwa eksistensi gacong notabene merupakan akibat adanya oknum usaha water sport yang mempergunakan jasa mereka. Karena itulah dia memandang perlu ada formulasi tepat untuk benar-benar menyelesaikannya. Tentunya dengan tidak bertentangan dengan aturan berlaku. “Harus ada efek jera bagi pengusaha yang tidak mengindahkan. Bahkan, bila perlu cabut saja izinnya. Seperti kami di Tanjung Benoa, bisa saja menerapkan ancaman sanksi berupa penarikan penggunaan lahan pelaba desa bagi oknum usaha water sport yang menggunakan jasa gacong,” ancam Wijaya. *dar
Dari kesepakatan antara desa adat, sedikitnya ada 4 poin yang menjadi kesimpulan rapat. Pertama, pemerintah bersama dengan desa adat, pengusaha, dan masyarakat berkomitmen untuk mewujudkan keamanan dan kenyamanan berwisata di daerah tujuan wisata. Kedua, para pengusaha wisata tirta di Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Desa Adat Bualu, Desa Adat Tengkulung, dan Desa Adat Tanjung Benoa, sepakat untuk tidak menerima adanya jasa gacong. Ketiga, pengawasan terhadap poin 1 dan 2 dilakukan Satpol PP Badung, Dinas Pariwisata Badung, DPMPTSP Badung, Dinas Perhubungan, kepolisian, TNI, unsur kecamatan Kuta Selatan, kelurahan, desa adat, serta asosiasi pengusaha wisata tirta. “Sementara yang keempat, sanksi terhadap poin 1 dan 2 dikenakan sesuai perarem desa adat dan/atau peraturan perundang-undangan berlaku,” tegas Gede Arta.
Masih menurut Gede Arta, apa yang dilakukan ini bukanlah mencari siapa yang salah atau benar, karena yang diutamakan adalah citra pariwisata, melalui formulasi penyikapan permasalahan secara benar. Apalagi dalam waktu dekat sesuai rencana gerbang pariwisata internasional sudah mulai dibuka. “Dalam rapat juga muncul bahasa tawaran pekerjaan alternatif untuk orang-orang yang selama ini menjadi gacong,” kata Gede Arta.
Sementara terpisah, Bendesa Adat Tanjung Benoa I Made Wijaya alias Yonda, gacong adalah semacam pramuwisata bermotor, yang dalam praktiknya mereka menunggu di pinggiran jalan, dan langsung mengikuti orang yang dirasa berpotensi untuk berwisata water sport. Namun, cara menggaet wisatawan semacam itu mendapat keluhan dari wisatawan. Karena menimbulkan rasa takut. “Cara mereka itu dirasa tidak pantas. Tidak sedikit dari wisatawan yang mengaku kaget dan takut,” kata pria yang juga menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Badung itu.
Masih menurut Wijaya, gacong sendiri sebagai sebuah permasalahan lama yang tidak kunjung selesai. Bahkan, menurut dia, sudah lebih dari 10 tahun menjadi perhatian. Jika tidak dituntaskan, dia mengaku khawatir wisata water sport di wilayah Tanjung Benoa dan sekitarnya akan ditinggalkan. Sebab, rasa aman dan nyaman, menjadi hal yang sangat penting dalam dunia pariwisata.
“Apalagi tidak tertutup kemungkinan, yang menjadi korbannya adalah publik figur, termasuk pejabat tinggi. Jadi, kami berikan dukungan kepada para pimpinan lembaga terkait untuk serius menyelesaikan permasalahan ini,” harap Wijaya.
Wijaya juga sependapat bahwa eksistensi gacong notabene merupakan akibat adanya oknum usaha water sport yang mempergunakan jasa mereka. Karena itulah dia memandang perlu ada formulasi tepat untuk benar-benar menyelesaikannya. Tentunya dengan tidak bertentangan dengan aturan berlaku. “Harus ada efek jera bagi pengusaha yang tidak mengindahkan. Bahkan, bila perlu cabut saja izinnya. Seperti kami di Tanjung Benoa, bisa saja menerapkan ancaman sanksi berupa penarikan penggunaan lahan pelaba desa bagi oknum usaha water sport yang menggunakan jasa gacong,” ancam Wijaya. *dar
Komentar