Gumicik, Eks Pabrik Garam Terlezat di Bali
GIANYAR, NusaBali
BANJAR Gumicik, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianjar, tidak hanya pernah menjadi tempat mangkal armada Majapahit, ketika penaklukan Bali tahun 1343 M.
Wilayah Gumicik yang berwilayah pantai ini pernah menjadi salah satu lokasi pembuatan garam atau penggaraman di pesisir selatan Bali. Uyah (garam) gumicik, lanjut dikenal uyah Ketewel, sempat menjadi uyah terlezat di Bali.
Tesktur butiran garamnya kecil, halus. Warna putih nyalang (mengkilat) seperti mutiara. Tentu dengan rasa asin yang khas dan gurih. Rasa khas ini menjadikan garam Gumicik atau lumrah disebut uyah Ketewel (garam Ketewel) terkenal pada zamannya. Garam ini banyak dicari pedagang dan pengepul, untuk dijual kembali ke pasar- pasar maupun dijajakan ke desa-desa. Penjaja garam ini ini dari wilayah pesisir sampai pegunungan Bali.
I Wayan Rapung,86, salah seorang tetua sekaligus mantan pembuat garam Gumicik, menuturkan proses pembuatan uyah Gumicik atau uyah Ketewel secara umum sama dengan pembuatan garam di tempat lain.
Diawali mengambil dan memanggul air laut, bolak-balik, kemudian disiramkan merata secara berulang-ulang pada petak pasir penggaraman sekaligus penjemuran. Kira-kira sampai dengan tengah hari. Setelah sore mengumpulkan pasir jemuran air laut pada petak penggaraman.
Selanjutnya memasukkan ke dalam palungan yakni bak kayu menyerupai jukung atau sampan di dalam pondok garam. Lanjut, menyiramkan secukupnya air laut pada palungan. Air tirisan dari palungan berisi pasir ini ditampung wadah sampai selesai hingga semua tiris.
Air tirisan ini dimasak selama 12 jam. Dari jam enam sampai jam enam pagi atau esoknya. “Memasak air ini harus dengan begadang semalam penuh, agar api tetap menyala rata,” cerita Wayan Rapung.
Proses memasak selama 12 jam itulah yang membedakan uyah Ketewel dengan garam di tempat lain. Jika petani garam di tempat lain mendapatkan garam dengan cara menggantang atau menjemur air laut. Selain itu juga faktor lingkungan diyakni berpengaruh pada cita rasa uyah Ketewel. “Itulah menjadikan uyah di sini tidak pesak (butiran kasar), namun halus butirannya,” ucap Puspa.
Kini semua proses menggaraman itu tidak lagi bisa ditemui di Pantai Gumicik. Pembuatan garam sudah tidak ada lagi. “Kira-kira tahun 1990-an sudah berakhir,” timpal Kelian Adat Banjar Gumicik I Nyoman Puspa, anak dari I Wayan Rapung.
Jelas Puspa, perkembangan pembangunan dan ekonomi, terutama pariwisata memunculkan ragam pekerjaan pilihan, termasuk di Gumicik. Mulai dari tukang bangunan, pekerja pariwisata, pedagang dan macam-macam profesi lainnya menjadikan pekerjaan menggaram tersisih. “Sekarang banyak yang kerja di proyek bangunan,” kata Puspa.
Kemudian faktor alam, yakni abrasi parah di pantai juga sangat berpengaruh terhadap berakhirnya pembuatan garam di Gumicik. Dulu, daratan pantai Gumicik menjorok jauh ke selatan, namun akibat abrasi maka laut masuk ke daratan. Sehingga sebagian areal pantai hilang. Termasuk lahan penggaraman tertelan masuk laut, hilang. “Tidak ada lagi tempat untuk menggaram,” ucapnya. Proyek pembuatan tanggul kini dilakukan pemerintah untuk menahan laju abrasi di pantai ini. *k17
Komentar