Buka Pariwisata Bali Terancam Ditunda, Praktisi Wisata Pasrah
50 Hotel di Badung Dijual Pemiliknya
MANGUPURA, NusaBali
Harapan untuk dibukanya pariwisata Bali buat turis mancanegara, Juli 2021 mendatang, terancam buyar gara-garl meningkatnya kembali kasus Covid-19 di Bali sejak dua pekan terakhir.
Kalangan pelaku industri pariwisata pun kecewa dan hanya bisa gigit jari dengan kondisi ini. Apalagi, sudah ada 50 hotel di Badung yang terpaksa dijual pemiliknya. Ketua BPC PHRI Badung, I Gusti Agung Rai Suryawijaya, mengatakan pihaknya hanya bisa bersabar dan tidak bisa berbuat banyak, lantaran pemerintah-lah sebagai pemegang kebijakan terkait dibukanya pariwisata ini. Menurut Rai Suryawijaya, jujur saja rasa kecewa pasti ada jika pembukaan pariwisata ditunda lagi.
“Karena kami sangat-sangat berharap (pembukaan pariwisata internasional, Red). Walaupun kita sadar dengan dibukanya pariwisata, tidak serta merta langsung bisa mendatangkan banyak wisatawan,” ujar Rai Suryawijaya, Minggu (27/6).
Rai Suryawijaya memaparkan, sebetuknya selama 3 bulan terakhir sudah terus dimatangkan persiapan untuk dibukanya pariwisata internasional. Salah satunya, melalui sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability).
“Tapi, apa pun yang terjadi, memang itu adalah kewenangan dari pemerintah sebagai regulator. Kalau regulasi mengatakan (pembukaan pariwisata) belum bisa dilaksanakan, industri pariwisata tidak bisa bilang apa. Kami hanya bisa sabar,” tegas tokoh pariwisata yang juga menjabat Wakil Ketua BPD PHRI Bali ini.
RaiSuryawijaya mengungkapkan, jika dilihat dari kunjungan wisatawan domestik hingga saat ini, ada 4 daerah di Indonesia yang memberi kontribusi untuk Bali, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan DI Jogjakarta. Dari kunjungan wisatawan domestik tersebut, okupansi atau tingkat hunian hotel baru mencapai sekitar 10 persen. Ini masih jauh dari yang diharapkan.
“Kedatangan wisatawan domestik hanya 7.000-9.000 orang. Sedangkan tingkat hunian hotel baru sekitar 10 persen. Masih jauh dari apa yang menjadi harapan. Bali punya 146.000 kamar hotel. Kalau bicara kunjungan 7.000, masih is nothing untuk Bali,” keluh Rai Suryawijaya.
Menurut Rai Suryawijaya, diperlukan minimal 40 persen tingkat hunian hotel agar pariwisata bisa kembali pulih secara perlahan. Untuk itu, diperlukan konsistensi dan komitmen yang sama dalam menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, meskipun ketaatan masyarakat Bali terhadap Prokes cukup tinggi dan vaksinasi juga makin digencarkan.
Begitu juga dengan pengetatan di pintu-pintu masuk Bali, seperti Pelabuhan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana harus benar-benar dilaksanakan. Kalai di Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban, Kecamatan Kuta, Badung, pengetatatan sudah dinilai cukup baik. “Kita berharap minimal bisa melandai lagi kasus Covid-19. Sudah sempat terkendali dalam 3 bulan terakhir, tapi ternyata naik lagi seminggu terakhir,” katanya.
Di sisi lain, kata Rai Suryawijaya, kondisi hotel di Badung cukup memprihatinkan. Sebab, pendapatan selama pandemi Covid-19 tidak berbanding lurus dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Versi Rai Suryawijaya, ada puluhan hotel di Badung yang pailit dan sudah berpindah tangan. Tingginya biaya operasional yang diperlukan, menyebabkan puluhan hotel itu terpaksa dijual.
“Sampai saat ini, hotel dan restoran yang sudah dijual dan pailit ada sekitar 50-an unit. Pandemi Covid-19 ini sangat berdampak, karena selama 1 tahun 3 bulan terakhir betul-betul tanpa penghasilan,” katanya.
Rai Suryawijaya mencontohkan, hotel bintang tiga dengan 100 kamar, yang memerlukan biaya operasional mencapai Rp 300 juta sampai Rp 400 juta jika dalam kondisi buka. Sedangkan dalam keadaan tutup, masih juga diperlukan biaya operasional sampai Rp 100 juta. “Sedangkan okupansi hanya 10 persen dari jumlah kamar yang tersedia. Tentu ini tidak sebanding,” kata Rai Suryawijaya yang sekaligus bertindak sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Badung.
Menurut Rai Suryawijaya, penjualan hotel ini tentunya tak dapat memberikan keuntungan, baik bagi pemiliknya maupun karyawan. Sebab, hotel yang dijual sudah pasti dengan harga yang lebih rendah dari harga normal sebelum pandemi. Dia mencontohkan lagi, jika dalam kondisi normalm harga hotel dapat mencapai Rp 100 miliar, maka kini harganya bisa turun sampai 20 persen.
“Anggaplah dijual seharga Rp 75 miliar sampai Rp 85 miliar. Hasil penjualan itu akan habis untuk biaya makan dan memberikan pesangon kepada pegawai. Itu kan kewajiban dari pemilik dan manajemen hotel,” katanya sembari menyebut vaksinasi minimal 70 persen, open border dan stimulus dari pemerintah pusat merupakan strategi untuk mengatasi keterpurukan ini. *ind
1
Komentar