Nangluk Merana Sasih Kaenem, Krama Pasang Sungga Poling
Krama desa pakraman di Bangli memasang sungga poling di perbatasan wilayah desa pakraman.
BANGLI, NusaBali
Pemasangan sungga poling tersebut terkait dengan pelaksanaan upacara Nangluk Merana yang dilaksanakan pada Tilem Kaenem, Buda Paing Wayang, Rabu (28/12) hari ini.
Sungga poling adalah semacam pagar bambu tanda pembatas wilayah pakraman. Dibuat sedemikian rupa, dengan pemasangan sejumlah bilah bambu dengan ujung yang lancip (sungga atau ranjau bambu) dan peralatan lainnya, seperti sanggah cucuk. Sungga poling atau juga disebut pemangkalan, merupakan simbolis ‘benteng’ sekala-niskala, agar krama desa aman terlindung dari serangan merana (wabah penyakit dan bencana), buta kala, dan lainnya.
Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra, menyampaikan, mengapa Nangluk Merana pada Sasih Kelima sampai Kaenem, karena dipercaya pada sasih inilah wabah merana mengancam, baik wabah dari hewan, tumbuhan, dan lainnya. “Logikanya sekarang ini kan merupakan musim pancaroba, sehinggga potensial memicu terjangkitnya berbagai penyakit,” ujar tokoh asal Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Selasa (27/12).
Dikatakannya, secara tradisi ritual, Nangluk Merana ditandai dengan pecaruan dan bakti Nangluk Merana secara nyatur desa hingga ke penepi siring (batas wilayah pakraman). “Ini bukan sekadar ritual, memang ada dasar sastranya,” ujarnya.
Dia menyebut salah satunya Lontar Roga Sangghara Bhumi. Dikatakan, secara prinsip pelaksanaan Nangluk Merana dilaksanakan di semua desa pakraman. Hanya saja, penyebutannya yang bisa beda sesuai dengan tradisi setempat. Demikian juga sarana sungga poling, bisa jadi tidak sama, namun makna yang dimaksud sama.
Sementara itu, krama di sejumlah desa pakraman di Bangli, menyatakan sudah siap melaksanakan upacara Nangluk Merana. “Besok (Rabu hari ini) krama kami ngayah,” ujar Bendesa Pakraman Jelekungkang, Desa Tamanbali, Kecamatan Bangli, Wirya.
Dikatakan, di desa pakramannya, memasang sungga poling memang selalu dilakukan setiap setahun sekali pada Sasih Kaenem. “Di sini dinamakan pemangkalan,” tutur Wirya.
Dia menduga, pemangkalan berasal dari kata menangkal, yang berarti melindungi. Namun lama kelamaan jadi terucap pemangkalan. Pemangkalan dipasang di setiap batas wilayah desa pakraman. Tujuanya, agar desa pakraman terhindar dari segala mara bahaya, baik bahaya sekala maupun ancaman bahaya niskala.
Puncak dari Upacara Nangluk Merana di Jelekungkang adalah pecaruan, dilanjutkan dengan ngaturan bakti, serta upacara meajar-ajar atau ngider bhuwana. Prosesi ini ngiring Ida Bethara Sesuhunan dalam perwujudan barong, ke batas–batas desa di lokasi pemangkalan. “Di sana juga dilaksanakan ritual mapejati dan runtutan lainnya,” imbuh Wirya.
Beberapa sungga poling sudah ditemui di kawasan kota Bangli. Di antaranya di Jalan Brigjen I Gusti Ngurah Rai di wilayah Desa Pakraman Kawan, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli. * k17
Sungga poling adalah semacam pagar bambu tanda pembatas wilayah pakraman. Dibuat sedemikian rupa, dengan pemasangan sejumlah bilah bambu dengan ujung yang lancip (sungga atau ranjau bambu) dan peralatan lainnya, seperti sanggah cucuk. Sungga poling atau juga disebut pemangkalan, merupakan simbolis ‘benteng’ sekala-niskala, agar krama desa aman terlindung dari serangan merana (wabah penyakit dan bencana), buta kala, dan lainnya.
Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra, menyampaikan, mengapa Nangluk Merana pada Sasih Kelima sampai Kaenem, karena dipercaya pada sasih inilah wabah merana mengancam, baik wabah dari hewan, tumbuhan, dan lainnya. “Logikanya sekarang ini kan merupakan musim pancaroba, sehinggga potensial memicu terjangkitnya berbagai penyakit,” ujar tokoh asal Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Selasa (27/12).
Dikatakannya, secara tradisi ritual, Nangluk Merana ditandai dengan pecaruan dan bakti Nangluk Merana secara nyatur desa hingga ke penepi siring (batas wilayah pakraman). “Ini bukan sekadar ritual, memang ada dasar sastranya,” ujarnya.
Dia menyebut salah satunya Lontar Roga Sangghara Bhumi. Dikatakan, secara prinsip pelaksanaan Nangluk Merana dilaksanakan di semua desa pakraman. Hanya saja, penyebutannya yang bisa beda sesuai dengan tradisi setempat. Demikian juga sarana sungga poling, bisa jadi tidak sama, namun makna yang dimaksud sama.
Sementara itu, krama di sejumlah desa pakraman di Bangli, menyatakan sudah siap melaksanakan upacara Nangluk Merana. “Besok (Rabu hari ini) krama kami ngayah,” ujar Bendesa Pakraman Jelekungkang, Desa Tamanbali, Kecamatan Bangli, Wirya.
Dikatakan, di desa pakramannya, memasang sungga poling memang selalu dilakukan setiap setahun sekali pada Sasih Kaenem. “Di sini dinamakan pemangkalan,” tutur Wirya.
Dia menduga, pemangkalan berasal dari kata menangkal, yang berarti melindungi. Namun lama kelamaan jadi terucap pemangkalan. Pemangkalan dipasang di setiap batas wilayah desa pakraman. Tujuanya, agar desa pakraman terhindar dari segala mara bahaya, baik bahaya sekala maupun ancaman bahaya niskala.
Puncak dari Upacara Nangluk Merana di Jelekungkang adalah pecaruan, dilanjutkan dengan ngaturan bakti, serta upacara meajar-ajar atau ngider bhuwana. Prosesi ini ngiring Ida Bethara Sesuhunan dalam perwujudan barong, ke batas–batas desa di lokasi pemangkalan. “Di sana juga dilaksanakan ritual mapejati dan runtutan lainnya,” imbuh Wirya.
Beberapa sungga poling sudah ditemui di kawasan kota Bangli. Di antaranya di Jalan Brigjen I Gusti Ngurah Rai di wilayah Desa Pakraman Kawan, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli. * k17
1
Komentar