Merawat Asa Menjaga Kesenian Gong Luang Style Tangkas
DENPASAR, NusaBali
Gamelan kuno makin lama memang makin menarik. Namun makin kuno, belum tentu makin banyak yang tertarik mempelajarinya.
Di tengah minimnya minat anak muda mempelajari kesenian klasik kuno, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Sekaa Gong Luang Sanggar Seni Sudhamala, Desa Tangkas, Kecamatan/Kabupaten Klungkung telah memulai selangkah lebih awal. Mereka tampil membawakan komposisi gending dari Gong Luang style Desa Tangkas pada ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIII Tahun 2021 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa (29/6).
Penampilan mereka memang minim penonton. Itu karena pelaksanaan PKB tahun ini mengharuskan penerapan protokol kesehatan yang ketat akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung pasti kapan akan berakhir. Meski tepuk tangan penonton tak bergema hebat, namun tak membuat semangat mereka jatuh seketika.
Koordinator Sekaa Gong Luang Sanggar Seni Sudhamala, I Putu Agus Darmajaya, 22, mengatakan, pada penampilan kali ini mereka membawakan sebanyak lima gending. Dua di antaranya merupakan gending klasik berjudul ‘Mayura’ dan ‘Lilit Ubi’. Sedangkan tiga gending lainnya merupakan karya pengembangan perspektif baru (neo-klasik) berjudul ‘Ratu Gede’, ‘Nyaruk Pat’, dan ‘Rong Luang’.
“Kami mencoba menampilkan gending klasik dan juga perspektif baru, sebagai pengingat antara akar kehidupan kesenian yakni gending klasik itu sendiri yang menjadi nafas kesenian dalam menciptakan karya yang baru,” ujarnya saat ditemui usia pertunjukan.
Menurut seniman muda yang akrab disapa Tu Jaya ini, dalam memaknai tema besar PKB XLIII Tahun 2021 yang mengangkat tema ‘Purna Jiwa Prananing Wana Kerthi : Jiwa Paripurna Nafas Pohon Kehidupan’, yang perlu dijaga dan dihormati adalah akar dari kesenian Gong Luang style Tangkas, yakni dengan menampilkan gending-gending karya pendahulu. Dari sebuah akar yang kuat, akan memberikan nutrisi dan nafas kehidupan berkesenian.
“Apapun karya yang saya buat, tetap acuannya karya yang dibuat leluhur. Walaupun saya sebenarnya sangat suka karya-karya kekinian. Karena itu saya mix karya klasik dan baru dengan tetap berpegangan pada yang dibuat leluhur sebagai nafas atau akarnya,” terangnya.
Dia menuturkan, menurut cerita pengelingsir kesenian Gong Luang style Tangkas berawal saat Kerajaan Gelgel. Setelah pecah Perang Puputan tahun 1908, gamelan di Puri Gelgel hilang. Kemudian, pada tahun 1928 Gong Luang digagas kembali oleh seorang Jero Mangku Dalem dan sempat buat Sekaa di Puri Gelgel. Lambat laun itulah yang dikenal dengan Gong Luang Tangkas. Gong Luang yang asli masih tersimpan di rumah Jero Mangku Dalem tersebut. Sedangkan Tu Jaya membuat duplikatnya agar bisa dipelajari oleh generasi muda.
Lebih lanjut Tu Jaya menjelaskan, Gong Luang style Tangkas memiliki ciri khas tersendiri, yakni ada tambahan kendang bedug atau sejenis kendang kecil yang melengkapi instrumen Gong Luang. Pada instrument terompongnya komposisi nada dibuat acak. “Di instrumen terompong style Tangkas posisi nadanyanya diacak, tidak berurutan seperti gamelan yang lainnya yang posisi nadanya berurutan. Kalau yang style Tangkas diacak, dan diacaknya pun tidak sembarangan. Memang ada tujuan dan maksudnya,” jelas Tu Jaya sembari menyebut kalau Gong Luang style Tangkas merupakan reinterpretasi dari Pupuh Gambang.
Lulusan ISI Denpasar tahun 2020 ini melanjutkan, untuk mempersiapkan diri tampil di PKB XLIII Tahun 2021, setidaknya butuh waktu latihan sekitar empat bulan baginya bersama teman-teman agar penampilannya benar-benar matang. Sebab meski gamelan Gong Luang permainannya terdengar sederhana, namun memainkannya tak sesederhana itu.
“Gamelan ini dibilang sederhana, ya sederhana. Tapi dibilang rumit, ya rumit. Karena semua berperan penting di sini. Satu saja yang lengah, akibatnya jadi rusak semua gendingnya. Meski secara teknik teman-teman sudah kuat, namun kadang ada pola-pola yang sulit ditemukan. Menghafalkan urutan nadanya yang susah,” bebernya.
Tu Jaya sendiri yang sebagai inisiator yang ingin melestarikan kesenian Gong Luang Tangkas pun perlu waktu bertahun-tahun belajar dari buku, cerita para tetua, serta video yang dikirimkan oleh peneliti asal Kanada yang pernah meneliti gamelan yang dimainkan almarhum kakeknya dulu. Kesulitan-kesulitan yang dialami kian membuatnya semangat. Sebab penerus Gong Luang style Tangkas kian lama kian berkurang. Bahkan saat ini sudah tidak ada yang memegang kendali gending-gending Gong Luang. Karena itu, langkah pertama yang dilakukan Tu Jaya adalah mengangkat kesenian Gong Luang ini untuk menjadi karya tugas akhirnya di ISI Denpasar tahun 2020.
“Saya menggagas untuk menghidupkan kembali Gong Luang biar tidak punah. Toh ini juga fungsinya sangat luhur dan bisa dikembangkan. Tapi masalahnya memang tidak mudah untuk menarik minat anak muda. Ini teman-teman yang saya ajak bukan dari Desa Tangkas. Semuanya berasal dari desa yang berbeda-beda di wilayah Klungkung,” tandasnya. *ind
1
Komentar