Bapak-Anak Asal Desa Pedawa Berhasil Selamat dari Maut
Kisah di Balik Musibah Tenggelamnya KMP Yunicee di Perairan Gilimanuk
Korban I Ketut Budi Astrawan dan anak gadisnya, Ni Kadek Ayu Novi Antari, sempat selama 30 menit terombang-ambing di laut, sebelum diselamatkan kapal tongkang
SINGARAJA, NusaBali
Dari 39 korban selamat dalam musibah tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Yunicee di sekitar Pelabuhan Gilimanuk, Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana, Selasa (29/6) malam, 2 orang di antaranya adalah satu keluarga asal Banjar Dinas Insakan, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng. Mereka adalah I Ketut Budi Astrawan, 39, dan anak gadisnya, Ni Kadek Ayu Novi Antari, 13.
Ketut Budi Astrawan kesehariannya berprofesi sopir truk logistik jalur Jawa-Bali. Saat musibah tenggelamnya KMP Yunicee, Selasa malam pukul 19.00 Wita, bapak dua anak ini ikut jadi korban. Budi Astrawan tenggelam bersama anak bungsunya yang berusia 13 tahun, Ni Kadek Ayu Novi Antari.
Budi Astrawan mengisahkan, saat musibah malam itu, dia dan anak gadisnya dalam perjalanan balik ke Buleleng dari Mojokerto, Jawa Timur. Mereka berangkat dari Mojokerta naik Truk Colt Diesel bermuatan pakan konsentrat, yang rencananya akan dikirim ke gudang di Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng.
Menurut Budi Astrawan, sebelumnya truk yang dikemudikannya berangkat dari Klungkung ke Mojokerto, Sabtu (26/6) lalu, membawa muatan kelapa. Budi Astrawan ditemani anak gadisnya, Kadek Ayu Novi Antari. Setelah bongkar muat, mereka berangkat kembali ke Bali, Senin (28/6) pagi. Kemudian, mereka tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (29/6) sore, untuk menyeberang ke Pelabuhan Gilimanuk.
Budi Astrawan sendiri biasanya menyeberang ke Bali dengan kapal tongkang. Namun, sore itu dia pilih menggunakan Kapal Feri yakni KMP Yunicee, karena diajak oleh rekannya sesama sopir truk. Budi Astrawan mengaku sudah khawatir sesaat sebelum kapal berangkat dari Pelabuhan Ketapang.
"Saat itu, kapal tidak penuh. Namun, saat muat kendaraan, saya lihat air naik. Kru kapal bilang itu hal biasa, karena sedang proses muat, nanti hilang sendiri. Ternyata dari informasi yang saya terima, sudah ada kebocoran sejak sebelum kapal berangkat dari Pelabuhan Ketapang, tapi dipaksakan berlayar)," kenang Budi Astawan saat ditemui NusaBali di kediamannya, di Banjar Dinas Insakan, Desa Pedawa, Kamis (1/7) siang.
Menurut Budi Astrawan, sesaat sebelum musibah kapal tenggelam malam itu, dia dan putrinya berada di ruang penumpang. Kemudian, sejumlah kru kapal meminta para sopir turun ke bawah untuk menggeser kendaraannya, lantaran posisi kapal tiba-tiba miring.
Dari situ, para penumpang yang panik kemudian berebut jaket pelampung. "Saya tidak dapat jaket pelampung, kalau anak saya sudah dapat. Karena kapal semakin miring, saya dan anak saya pilih terjun ke laut," papar sopir truk berusia 39 tahun ini.
Korban Budi Astrawan dan putrinya, Ayu Novi Antari, sempat terpisah sejauh 10 meter akibat derasnya arus laut. Namun, dengan sekuat tenaga, Budi Astrawan mencari sang anak dan berhasil merangkulnya. Saat itu, ada dua korban lainnya yang juga berusaha menyelamatkan diri dengan berpegangan pada bagian pundak dan leher Budi Astrawan.
"Dua orang yang berpegangan di pundak saya itu tidak pakai pelampung. Karena berat pundak dan leher saya digelayuti dua orang, saya juga sempat hampir tenggelam," katanya.
Budi Astrawan dan putrinya selama 30 menit terapung di atas laut dalam kondisi gelap, sebelum kemudian dievakuasi oleh kapal tongkang yang memberikan pertolongan. "Saat masih di dalam air, saya pasrah. Jaket pelampung anak saya pegang. Saya tidak peduli, yang penting anak selamat. Kemudian, ada kapal mendekat. Kami berdua ditarik menggunakan tali dan dievakuasi ke Pelabuhan Ketapang," tutur Budi Astrawan.
Setelah tiba di Pelabuhan Ketapang, Budi Astrawan dan anak gadisnya kemudian dibawa ke RS Blambangan, Banyuwangi untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah kondisinya membaik, mereka diantar pulang ke Desa Pedawa, Kecamatan Banjar oleh rekannya sesama komunitas sopir logistik, Rabu (30/6) malam.
Budi Astrawan mengaku baru kali pertama nyopir ke Jawa ditemani putrinya, Ayu Novi Antari, yang masih duduk di bangku Kelas VIII SMP. Biasanya, dia nyopir sendiri dan kadang-kadang ditemani anak lelakinya, Gede Agus, 17. "Kalau putra saya kadang-kadang ikut. Ini tumben anak saya yang perempuan ingin ikut," papar mantan sopir freelance yang sebelum pandemi Covid-19 biasa mengantarkan wisa-tawan ini.
Menurut Budi Astrawan, dirinya masih trauma dengan musibah tenggelamnya KMP Yunicee, yang menyebabkan 7 korban tewas, 39 korban selamat, dan beberapa korban hilang ini. Terlebih, ingatan saat menyaksikan beberapa mayat korban mengambang.
Rencananya, keluarga Budi Astrawan akan menggelar upacara ngulapin pasca musibah. Namun, upacara ini masih menunggu kondisi Budi Astrawan dan putrinya benar-benar pulih. "Trauma pasti ada, kalau malam saya teringat dan lemas. Belum ada rencana nyopir lagi, masih istirahat," katanya. Terkait kerugian material yang dialaminya, Budi Astrawan mengaku dijanjikan akan diganti oleh pihak asuransi. *mz
Ketut Budi Astrawan kesehariannya berprofesi sopir truk logistik jalur Jawa-Bali. Saat musibah tenggelamnya KMP Yunicee, Selasa malam pukul 19.00 Wita, bapak dua anak ini ikut jadi korban. Budi Astrawan tenggelam bersama anak bungsunya yang berusia 13 tahun, Ni Kadek Ayu Novi Antari.
Budi Astrawan mengisahkan, saat musibah malam itu, dia dan anak gadisnya dalam perjalanan balik ke Buleleng dari Mojokerto, Jawa Timur. Mereka berangkat dari Mojokerta naik Truk Colt Diesel bermuatan pakan konsentrat, yang rencananya akan dikirim ke gudang di Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng.
Menurut Budi Astrawan, sebelumnya truk yang dikemudikannya berangkat dari Klungkung ke Mojokerto, Sabtu (26/6) lalu, membawa muatan kelapa. Budi Astrawan ditemani anak gadisnya, Kadek Ayu Novi Antari. Setelah bongkar muat, mereka berangkat kembali ke Bali, Senin (28/6) pagi. Kemudian, mereka tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (29/6) sore, untuk menyeberang ke Pelabuhan Gilimanuk.
Budi Astrawan sendiri biasanya menyeberang ke Bali dengan kapal tongkang. Namun, sore itu dia pilih menggunakan Kapal Feri yakni KMP Yunicee, karena diajak oleh rekannya sesama sopir truk. Budi Astrawan mengaku sudah khawatir sesaat sebelum kapal berangkat dari Pelabuhan Ketapang.
"Saat itu, kapal tidak penuh. Namun, saat muat kendaraan, saya lihat air naik. Kru kapal bilang itu hal biasa, karena sedang proses muat, nanti hilang sendiri. Ternyata dari informasi yang saya terima, sudah ada kebocoran sejak sebelum kapal berangkat dari Pelabuhan Ketapang, tapi dipaksakan berlayar)," kenang Budi Astawan saat ditemui NusaBali di kediamannya, di Banjar Dinas Insakan, Desa Pedawa, Kamis (1/7) siang.
Menurut Budi Astrawan, sesaat sebelum musibah kapal tenggelam malam itu, dia dan putrinya berada di ruang penumpang. Kemudian, sejumlah kru kapal meminta para sopir turun ke bawah untuk menggeser kendaraannya, lantaran posisi kapal tiba-tiba miring.
Dari situ, para penumpang yang panik kemudian berebut jaket pelampung. "Saya tidak dapat jaket pelampung, kalau anak saya sudah dapat. Karena kapal semakin miring, saya dan anak saya pilih terjun ke laut," papar sopir truk berusia 39 tahun ini.
Korban Budi Astrawan dan putrinya, Ayu Novi Antari, sempat terpisah sejauh 10 meter akibat derasnya arus laut. Namun, dengan sekuat tenaga, Budi Astrawan mencari sang anak dan berhasil merangkulnya. Saat itu, ada dua korban lainnya yang juga berusaha menyelamatkan diri dengan berpegangan pada bagian pundak dan leher Budi Astrawan.
"Dua orang yang berpegangan di pundak saya itu tidak pakai pelampung. Karena berat pundak dan leher saya digelayuti dua orang, saya juga sempat hampir tenggelam," katanya.
Budi Astrawan dan putrinya selama 30 menit terapung di atas laut dalam kondisi gelap, sebelum kemudian dievakuasi oleh kapal tongkang yang memberikan pertolongan. "Saat masih di dalam air, saya pasrah. Jaket pelampung anak saya pegang. Saya tidak peduli, yang penting anak selamat. Kemudian, ada kapal mendekat. Kami berdua ditarik menggunakan tali dan dievakuasi ke Pelabuhan Ketapang," tutur Budi Astrawan.
Setelah tiba di Pelabuhan Ketapang, Budi Astrawan dan anak gadisnya kemudian dibawa ke RS Blambangan, Banyuwangi untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah kondisinya membaik, mereka diantar pulang ke Desa Pedawa, Kecamatan Banjar oleh rekannya sesama komunitas sopir logistik, Rabu (30/6) malam.
Budi Astrawan mengaku baru kali pertama nyopir ke Jawa ditemani putrinya, Ayu Novi Antari, yang masih duduk di bangku Kelas VIII SMP. Biasanya, dia nyopir sendiri dan kadang-kadang ditemani anak lelakinya, Gede Agus, 17. "Kalau putra saya kadang-kadang ikut. Ini tumben anak saya yang perempuan ingin ikut," papar mantan sopir freelance yang sebelum pandemi Covid-19 biasa mengantarkan wisa-tawan ini.
Menurut Budi Astrawan, dirinya masih trauma dengan musibah tenggelamnya KMP Yunicee, yang menyebabkan 7 korban tewas, 39 korban selamat, dan beberapa korban hilang ini. Terlebih, ingatan saat menyaksikan beberapa mayat korban mengambang.
Rencananya, keluarga Budi Astrawan akan menggelar upacara ngulapin pasca musibah. Namun, upacara ini masih menunggu kondisi Budi Astrawan dan putrinya benar-benar pulih. "Trauma pasti ada, kalau malam saya teringat dan lemas. Belum ada rencana nyopir lagi, masih istirahat," katanya. Terkait kerugian material yang dialaminya, Budi Astrawan mengaku dijanjikan akan diganti oleh pihak asuransi. *mz
1
Komentar