Puluhan SD Diregrouping
Dorongan yang paling mendesak dilakukan penggabungan sekolah, karena kekurangan guru dan kepala sekolah.
SINGARAJA, NusaBali
Sebanyak 37 Sekolah Dasar (SD) di Buleleng yang berada di satu halaman diputuskan untuk diregrouping (digabungkan) menjadi 17 sekolah. Kebijakan penggabungan sekolah ini diputuskan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdipora) Buleleng untuk mengefesiensikan managemen sekolah dan guru.
Puluhan sekolah yang diregrouping sudah menjalani manajemen baru sejak Januari 2021 lalu. Penggabungan sekolah satu halaman itu terjadi di Kecamatan Buleleng, Sawan dan Kubutambahan. Kepala Disdikpora Buleleng Made Astika Kamis (1/7) kemarin menerangkan, regrouping sekolah dilakukan bukan karena jumlah siswa di sekolah itu sedikit. Melainkan penggabungan dua sekolah atau lebih yang berada di satu halaman menjadi satu manajemen.
“Selama ini kan ada banyak sekolah yang satu halaman bisa dua atau tiga sekolah. Seperti di kota saja dulu ada SD 1,2,5 Banyuasri, 1,6 Banjar Jawa. Sekarang ini digabungkan menjadi satu menajemen untuk efesiensi,” kata Astika. Dorongan yang paling mendesak dilakukan penggabungan sekolah, karena kekurangan guru dan kepala sekolah. Lima tahun belakangan jumlah kepala sekolah yang pensiun cukup banyak, sehingga tak sedikit juga sekolah yang kini diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah.
Dengan efesiensi manajemen ini, kekurangan kepala sekolah bisa tertutupi. Begitu juga situasi kekurangan guru, dapat diisi oleh Kasek yang tidak mendapatkan jabatan dan dikembalikan sebagai guru biasa. Astika pun menambahkan kelas pararel dalam satu sekolah yang diberlakukan di sekolah regrouping akan memudahkan mengatur penjadwalan jam mengajar guru.
Sementara itu, khusus untuk sekolah yang ada di wilayah pinggiran kota dengan jumlah siswa sedikit tetap dipertahankan. Seperti SDN 2 Bongancina, sejumlah sekolah di Desa Sepang, di Kecamatan Busungbiu, Buleleng yang setiap tahunnya mendapatkan siswa baru tak lebih dari 15 orang siswa. Hanya saja sekolah ini tetap harus dipertahankan dan tidak digabung dengan sekolah lainnya di satu desa.
“Regrouping sekolah tak selalu yang mendapatkan siswa sedikit setiap tahun. Karena kasusnya berbeda-beda. Khsuus di sekolah tertentu di pinggiran dengan jumlah sedikit tetap harus mendapatkan akses pendidikan. Kalau di regrouping berpotensi putus sekolah karena akses jauh. Sehingga tetap berjalan walaupun jumlah siswa baru yang diterima kurang dari 10 orang,” tegas Astika. *k23
Puluhan sekolah yang diregrouping sudah menjalani manajemen baru sejak Januari 2021 lalu. Penggabungan sekolah satu halaman itu terjadi di Kecamatan Buleleng, Sawan dan Kubutambahan. Kepala Disdikpora Buleleng Made Astika Kamis (1/7) kemarin menerangkan, regrouping sekolah dilakukan bukan karena jumlah siswa di sekolah itu sedikit. Melainkan penggabungan dua sekolah atau lebih yang berada di satu halaman menjadi satu manajemen.
“Selama ini kan ada banyak sekolah yang satu halaman bisa dua atau tiga sekolah. Seperti di kota saja dulu ada SD 1,2,5 Banyuasri, 1,6 Banjar Jawa. Sekarang ini digabungkan menjadi satu menajemen untuk efesiensi,” kata Astika. Dorongan yang paling mendesak dilakukan penggabungan sekolah, karena kekurangan guru dan kepala sekolah. Lima tahun belakangan jumlah kepala sekolah yang pensiun cukup banyak, sehingga tak sedikit juga sekolah yang kini diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah.
Dengan efesiensi manajemen ini, kekurangan kepala sekolah bisa tertutupi. Begitu juga situasi kekurangan guru, dapat diisi oleh Kasek yang tidak mendapatkan jabatan dan dikembalikan sebagai guru biasa. Astika pun menambahkan kelas pararel dalam satu sekolah yang diberlakukan di sekolah regrouping akan memudahkan mengatur penjadwalan jam mengajar guru.
Sementara itu, khusus untuk sekolah yang ada di wilayah pinggiran kota dengan jumlah siswa sedikit tetap dipertahankan. Seperti SDN 2 Bongancina, sejumlah sekolah di Desa Sepang, di Kecamatan Busungbiu, Buleleng yang setiap tahunnya mendapatkan siswa baru tak lebih dari 15 orang siswa. Hanya saja sekolah ini tetap harus dipertahankan dan tidak digabung dengan sekolah lainnya di satu desa.
“Regrouping sekolah tak selalu yang mendapatkan siswa sedikit setiap tahun. Karena kasusnya berbeda-beda. Khsuus di sekolah tertentu di pinggiran dengan jumlah sedikit tetap harus mendapatkan akses pendidikan. Kalau di regrouping berpotensi putus sekolah karena akses jauh. Sehingga tetap berjalan walaupun jumlah siswa baru yang diterima kurang dari 10 orang,” tegas Astika. *k23
1
Komentar