Proyeksi 2017 : Bidang Hukrim
Ketika Bali Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak
Sederet kasus dugaan penculikan terhadap anak disertai pemerkosaan terjadi di Denpasar. Bocah yang diculik, lalu diperkosa, kemaudian dibuang di pinggir jalan. Pelakunya sampai sekarang masih misterius dan terus gentayangan, sehingga menjadi teror bagi keamanan Bali.
Bukan hanya di Denpasar, upaya penculikan anak juga terjadi di Amlapura, Karangasem. Tapi, penculikan gagal dilakukan pelaku karena keburu kepergok. Ada pula korban penculikan yang menangis, sehinga kemudian dilepas pelaku. Modus operandi yang dilakukan, baik penculikan di Denpasar maupun Amlapura, pelakunya menggunakan mobil.
Dari sederet kasus penculikan itu, paling menyayat hati adalah peristiwa yang menimpa seorang bocah Kelas V SD, Ni Luh ACP, 10, yang diculik orang tak dikenal saat bermain di ujung gang rumahnya kawasan Jalan Tukad Buaji Sesetan, Denpasar Selatan, Selasa (4/10/2016) sore. Bocah berusia 10 tahun ini kemudian ditemukan duduk di pinggir jalan raya kawasan Banjar Negari, Desa Singapadu Tengah, Kecamatan Sukawati, Gianyar, sekitar 6 jam pasca penculikan. Bocah malang ini ditemukan anggota TNI AD asal Singapadu, I Nyoman Parwata, yang kemudian mengabarkan penemuan korban kepada orangtuanya di Sesetan.
Orangtua korban bersama anggota Polsek Denpasar Selatan pun langsung meluncur ke Singapadu untuk menjemput bocah Luh ACP di rumah Nyoman Parwata. Korban Luh ACP kemudian ditangani penyidik Unit Perlindungan Peremuan dan Anak (PPA) Polresta Denpasar. Dalam keterangannya kepada penyidik, korban mengaku sempat dua kali diperkosa oleh pelaku di dalam mobil Avanza. Berdasarkan hasil visum di rumah sakit, korban memang mengalami kekerasan seksual.
Aktivis dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar, Siti Sapurah alias Ipung, mengungkapkan kekhwatirannya atas berbagai aksi penculikan, pencabulan, dan pemerkosaan yang menimpa anak-anak di Bali. Menurut Ipung, Denpasar saat ini sudah dikategorikan ‘darurat kekerasan seksual terhadap anak’. Denpasar sebagai Ibukota Provinsi Bali mencerminkan Pulau Dewata tidak aman, sementara jargon BALI (Bali Aman Lestari Indah) pun ternoda.
Wajar saja Ipung berkata demikian. Faktanya, di tahun 2015, juga terjadi kasus serupa. Seorang bocah perempuan di Jalan Siulan Denpasar dilculik dan dilecehkan pelaku, lalu korban dibuang di kawasan Klungkung. Pelakunya juga tidak terungkap dan tertangkap sampai sekarang. Ipung menuding status ‘darurat kekerasan seksual terhadap anak’ tersebut tidak serta merta mengundang perhatian serius dari kepolisiani. Sebab, beberapa kasus yang dilaporkan tidak disertai dengan penangkapan.
Para pelaku masih bebas berkeliaran dan terus melakukan aksinya. Padahal, modus yang digunakan pelaku kejahatan anak ini tetap sama, yakni menggunakan mobil untuk melancarkan aksinya dan membuang korban di daerah berbeda. Pihak berwenang tentunya memiliki catatan khusus perihal modus, motif, dan rantai pergerakan para pelaku kejahatan seksual anak.
Terlepas dari faktor apa yang melatarbelakangi kasus penculikan anak, yang jelas kasus ini harus dijadikan bahan perenungan bersama. Kita harus menyelamatkan anak-anak dari segala macam tindak kekerasan, yang dapat menimbulkan trauma pada diri anak. Berbagai peluang bagi terjadinya kekerasan harus ditutup rapat. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, termasuk pemerintah dan orangtua, dan kalangan pendidikan.
Pemerintah, dalam hal ini petugas keamanan, harus menunjukkan profesionalismenya dalam bekerja. Terkait dengan aksi penculikan anak, peran orangtua sangat diharapkan untuk dapat dijalankan dengan optimal. Demikian pula pengelola pendidikan, dalam hal ini sekolah. Semuanya harus bersinergi. Pasalnya, dari sejumlah kasus penculikan terutama di Karangasem, pelaku menyasar siswa di sekolah. Pendampingan terhadap anak minim ketika berada di lingkungan sekolah.
Tak heran jika para orangtua memilih antar jemput anaknya ke sekolah. Mereka ingin nyaman, bahwa anaknya tiba di sekolah dan di rumah dengan selamat tanpa harus dibayangi rasa khawatir jadi korban penculikan. Para orangtua rela bolos dari kantor, bagi mereka yang kebetulan kerja kantoran. Ada pula siswa yang diantar jemput kakek neneknya, karena orangtuanya kerja maburuh. Ada pula pihak sekolah yang menyediakan jasa antar jemput siswa dengan kendaraan khusus.
Cara seperti ini lebih efektif dan nyaman tinimbang anak-anak dibiarkan jalan ke sekolah atau pulang sekolah sendirian. Sebab, anak-anak yang merenung, berjalan sendirian menyusuri jalan sepi, rawan jadi korban penculikan. *
Made Sugianto
-----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar