Proyeksi 2017 : Bidang Budaya
Joged Jaruh di Balik Puja-puji Terhadap Bali
KRAMA Bali patut bangga mewarisi pelbagai jenis tarian, termasuk joged bumbung. Sayangnya, kebanggaan itu kini jadi nungkalik (berbalik). Joged bumbung sebagai tari pergaulan kini dimanfaatkan sekelompok warga untuk menistakan keluhuran nilai-nilai budaya Bali.
Penistaan itu ditandai dengan viral video joged jatuh (porno) dalam unggahan jejaring Youtube dan media sosial (medsos) lainnya. Viralnya bukan lagi karena kecantikan, kelembutan penari, dan sayup-satup indah gambelan berbahan bambu itu, melainkan gerakan-gerakan penarinya yang erotis, ngangkuk (komposisi gerak pantat depan-belakang yang bertubi-tubi).
Viral ini tentu sangat berlawanan dengan brand image Bali, salah satu gugusan pulau yang bertabur puja-puji. Antara lain, Bali sebagai Pulau Surga, Pulau Dewata (kesucian), Pulau Budaya Adi Luhung, Surga Terakhir, dan segala pujian lainnya. Dan, viral itu menyuguhkan seolah-olah tarian Bali penuh kemaksiatan.
Pelbagai model unggahan joged jaruh di Youtube tak hanya bikin gundah rasa kebalian orang Bali dan luar Bali. Joged jaruh ini telah membuat ‘marah’ banyak kalangan, termasuk pejabat pemerintah, pemuka agama, budayawan, seniman, akademisi, hingga prajuru adat. Mereka dan orang Bali umumnya yang dikenal taat pada nilai-nilai agama Hindu, budaya dan adat Bali, mencemooh joged jaruh itu sebagai tindakan anti moral.
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali pun jeli menyimak kegundahan itu. Bekerjasam dengan para pakar, Dinas Kebudayaan berupaya mengimbangi viral joged jaruh dengan joged pakem. Namun, ‘proyek’ pembinaan kesenian yang bersifat counter budaya itu belum nyusup (manjur). Tarian joged jaruh masih tetap memikat hati kaum laki-laki, mulai dari bocah hingga orangtua, dan selalu ramai penonton.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika pun menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 6393 Tahun 2016. Intinya, melalui SE ini Gubernur minta kepada pihak-pihak terkait untuk menertibkan pertunjukan joged jaruh. SE ini menyiratkan tentang ketakutan yang hebat terkait maraknya joged jaruh. Karena joged jaruh tak hanya sebuah ancaman terhadap keluhuran budaya Bali, tapi ‘bencana’ yang dapat merusak mentalitas masyarakat.
Joged jaruh tentu menjadi potret vulgar masyarakat bawah di Bali. Hal itu ditandai dari pemanggungan atau pentas joged jaruh ini yang tak fanatik tempat. Pentas di tegalan pun oke. Biasanya, pentas karena dikontrak mlandang (cukong) judian bola adil, cap deki, dan lainnya. Maka, komplit pentas joged yang anti norma kesusilaan ini menyatu dengan praktik pelanggaran hukum khususnya Pasal 303 KUHP tentang Perjudian. Tak jarang juga joged jaruh ini telanjur jaruh juga saat diminta pentas untuk naur sesangi (bayar kaul) tertentu, bukan judian.
Kegagalan pembinaan agar kembali ke joged pakem, karena beberapa faktor. Antara lain, proyek pembinaan itu hanya ‘membasahi’ kalangan tertentu. Perbekel dan bendesa pakraman jadi jembatan pembinaan, namun jarang menyentuh sekaa joged. Kalau toh sampai ke sekaa joged, pembinaannya tentu tak cukup dengan kata-kata, wejangan, ceramah, seminar, worshop, dan setingkatnya.
Sekaa joged umumnya adalah orang Bali yang paham pakem tari Bali. Mereka juga mengerti moralitas, kearifan lokal, tata krama, susila, sopan santun, etika, dan pesan-epsan agama lainnya. Tapi, semua itu lenyap tatkala sekaa joged ini berada di jurang kemiskinan. Karena didera kemiskinan, maka setiap orang akan ‘jujur’ untuk bersiasat. Mereka, menjadi pelaku ‘ekonomi kreatif’ dengan cara mengkreasikan segala benda dan tindakan agar bernilai ekonomi. Akibatnya, tarian joged pakem dikemas jadi komoditas agar selalu laris. Caranya, mengubah tarian pakem babalian menjadi terian Bali jajaruhan (kepornoan).
Sekaa joged seperti itu juga tidak merasa terperangkap dalam penistaan etika berkesenian Bali. Mereka lebih memilih jujur berkreasi dalam kemiskinan, ketimbang pura-pura idealis normatif dengan menarikan joged pakem. Sekaa joged ini tetap nyaman dalam pelanggaran pakem berkesenian. Karena di tengah semangat menghibur masyarakat, di luar sana terjadi banyak ragam pelanggar hukum yang dilazimkan.
Maka, bisa jadi pentas joged ini sebagai kompensasi tak langsung atas pelanggaran norma yang dilakoni masyarakat bermoral. Pelanggaran itu, antara lain, praktik segala judi yang terbiarkan, peredaran narkoba yang menjadi-jadi, perampokan, pemalakan, pemalsuan, korupsi yang menggurita, dan lainnya.
Pembudayaan joged jaruh ini masih mungkin diluruskan ke joged pakem. Pembinaannya tentu tak bisa sepanggal-sepenbggal, melainkan total dengan melibatkan antar sektor. Pembinaan berbasis kesejahteraan, khususnya pada sekaa joged, adalah mutlak. Dalam tataran wajar, tatkala kesejahteraan terengkuh, maka mustahil para orangtua, tetua desa, pemuka agama, akan membiarkan gadis atau jandanya menari angkuk-angkuk di depan umum.
Mental para penghobi joged jaruh, khususnya kalangan anak muda, masih mungkin diluruskan agar tak holic (mabuk) menikmati joged jaruh. Pemerintah dan para juru moral sedapat mungkin menyediakan ruang dan waktu kreativitas positif penghobi itu. Antara lain, membuat pentas kesenian yang bisa dinikmati kaum pinggiran.
Pembinaan joged pakem juga tak terhenti di jajaran elite, tapi menembus lapisan bawah. Para penegak hukum juga tak tutup mata dengan judian yang membonceng joged jaruh. Segala bentuk pelanggaran norma mesti ditindak secara tepat dan benar. Jika tidak, segala jenis pelanggaran itu bisa dijadikan kompensasi oleh sekaa joged dan pengupahnya untuk terus mementaskan joged ini. Tak kalah penting, ada sanksi dari pemerintah terhadap desa yang membiarkan pentas joged jaruh ini. *
Nyoman Wilasa
-----------------------------
Wartawan NusaBali
Penistaan itu ditandai dengan viral video joged jatuh (porno) dalam unggahan jejaring Youtube dan media sosial (medsos) lainnya. Viralnya bukan lagi karena kecantikan, kelembutan penari, dan sayup-satup indah gambelan berbahan bambu itu, melainkan gerakan-gerakan penarinya yang erotis, ngangkuk (komposisi gerak pantat depan-belakang yang bertubi-tubi).
Viral ini tentu sangat berlawanan dengan brand image Bali, salah satu gugusan pulau yang bertabur puja-puji. Antara lain, Bali sebagai Pulau Surga, Pulau Dewata (kesucian), Pulau Budaya Adi Luhung, Surga Terakhir, dan segala pujian lainnya. Dan, viral itu menyuguhkan seolah-olah tarian Bali penuh kemaksiatan.
Pelbagai model unggahan joged jaruh di Youtube tak hanya bikin gundah rasa kebalian orang Bali dan luar Bali. Joged jaruh ini telah membuat ‘marah’ banyak kalangan, termasuk pejabat pemerintah, pemuka agama, budayawan, seniman, akademisi, hingga prajuru adat. Mereka dan orang Bali umumnya yang dikenal taat pada nilai-nilai agama Hindu, budaya dan adat Bali, mencemooh joged jaruh itu sebagai tindakan anti moral.
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali pun jeli menyimak kegundahan itu. Bekerjasam dengan para pakar, Dinas Kebudayaan berupaya mengimbangi viral joged jaruh dengan joged pakem. Namun, ‘proyek’ pembinaan kesenian yang bersifat counter budaya itu belum nyusup (manjur). Tarian joged jaruh masih tetap memikat hati kaum laki-laki, mulai dari bocah hingga orangtua, dan selalu ramai penonton.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika pun menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 6393 Tahun 2016. Intinya, melalui SE ini Gubernur minta kepada pihak-pihak terkait untuk menertibkan pertunjukan joged jaruh. SE ini menyiratkan tentang ketakutan yang hebat terkait maraknya joged jaruh. Karena joged jaruh tak hanya sebuah ancaman terhadap keluhuran budaya Bali, tapi ‘bencana’ yang dapat merusak mentalitas masyarakat.
Joged jaruh tentu menjadi potret vulgar masyarakat bawah di Bali. Hal itu ditandai dari pemanggungan atau pentas joged jaruh ini yang tak fanatik tempat. Pentas di tegalan pun oke. Biasanya, pentas karena dikontrak mlandang (cukong) judian bola adil, cap deki, dan lainnya. Maka, komplit pentas joged yang anti norma kesusilaan ini menyatu dengan praktik pelanggaran hukum khususnya Pasal 303 KUHP tentang Perjudian. Tak jarang juga joged jaruh ini telanjur jaruh juga saat diminta pentas untuk naur sesangi (bayar kaul) tertentu, bukan judian.
Kegagalan pembinaan agar kembali ke joged pakem, karena beberapa faktor. Antara lain, proyek pembinaan itu hanya ‘membasahi’ kalangan tertentu. Perbekel dan bendesa pakraman jadi jembatan pembinaan, namun jarang menyentuh sekaa joged. Kalau toh sampai ke sekaa joged, pembinaannya tentu tak cukup dengan kata-kata, wejangan, ceramah, seminar, worshop, dan setingkatnya.
Sekaa joged umumnya adalah orang Bali yang paham pakem tari Bali. Mereka juga mengerti moralitas, kearifan lokal, tata krama, susila, sopan santun, etika, dan pesan-epsan agama lainnya. Tapi, semua itu lenyap tatkala sekaa joged ini berada di jurang kemiskinan. Karena didera kemiskinan, maka setiap orang akan ‘jujur’ untuk bersiasat. Mereka, menjadi pelaku ‘ekonomi kreatif’ dengan cara mengkreasikan segala benda dan tindakan agar bernilai ekonomi. Akibatnya, tarian joged pakem dikemas jadi komoditas agar selalu laris. Caranya, mengubah tarian pakem babalian menjadi terian Bali jajaruhan (kepornoan).
Sekaa joged seperti itu juga tidak merasa terperangkap dalam penistaan etika berkesenian Bali. Mereka lebih memilih jujur berkreasi dalam kemiskinan, ketimbang pura-pura idealis normatif dengan menarikan joged pakem. Sekaa joged ini tetap nyaman dalam pelanggaran pakem berkesenian. Karena di tengah semangat menghibur masyarakat, di luar sana terjadi banyak ragam pelanggar hukum yang dilazimkan.
Maka, bisa jadi pentas joged ini sebagai kompensasi tak langsung atas pelanggaran norma yang dilakoni masyarakat bermoral. Pelanggaran itu, antara lain, praktik segala judi yang terbiarkan, peredaran narkoba yang menjadi-jadi, perampokan, pemalakan, pemalsuan, korupsi yang menggurita, dan lainnya.
Pembudayaan joged jaruh ini masih mungkin diluruskan ke joged pakem. Pembinaannya tentu tak bisa sepanggal-sepenbggal, melainkan total dengan melibatkan antar sektor. Pembinaan berbasis kesejahteraan, khususnya pada sekaa joged, adalah mutlak. Dalam tataran wajar, tatkala kesejahteraan terengkuh, maka mustahil para orangtua, tetua desa, pemuka agama, akan membiarkan gadis atau jandanya menari angkuk-angkuk di depan umum.
Mental para penghobi joged jaruh, khususnya kalangan anak muda, masih mungkin diluruskan agar tak holic (mabuk) menikmati joged jaruh. Pemerintah dan para juru moral sedapat mungkin menyediakan ruang dan waktu kreativitas positif penghobi itu. Antara lain, membuat pentas kesenian yang bisa dinikmati kaum pinggiran.
Pembinaan joged pakem juga tak terhenti di jajaran elite, tapi menembus lapisan bawah. Para penegak hukum juga tak tutup mata dengan judian yang membonceng joged jaruh. Segala bentuk pelanggaran norma mesti ditindak secara tepat dan benar. Jika tidak, segala jenis pelanggaran itu bisa dijadikan kompensasi oleh sekaa joged dan pengupahnya untuk terus mementaskan joged ini. Tak kalah penting, ada sanksi dari pemerintah terhadap desa yang membiarkan pentas joged jaruh ini. *
Nyoman Wilasa
-----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar