Demi Menjaga Lingkungan Hidup, Seniman Terbuka Kolaborasi dengan Berbagai Kalangan
DENPASAR, NusaBali.com - Tidak melulu asik dengan dunianya, para seniman menyatakan kesiapan berkolaborasi dengan elemen masyarakat terkait isu lingkungan hidup.
Tekad ini tercetus dalam widyatula (sarasehan) Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIII/ 2021, Selasa (6/7/2021). Sarasehan bertema ‘Seni Rupa Lingkungan Ritus Rupa dan Interupsi’ menghadirkan Nyoman Erawan, perupa asal Bali, dan Tisna Sanjaya seniman dan akademisi asal Bandung, Jawa Barat.
Nyoman Erawan yang merupakan perupa senior Bali mengatakan bahwa karyanya di awal dimaksudkan untuk menjadi sebuah karya seni. Namun, hal itu menurutnya tidak dapat berdiri sendiri. Karya-karya seni Erawan juga dimaksudkan untuk hal-hal di luar seni itu sendiri, yaitu untuk ikut memikirkan isu-isu yang sedang menjadi permasalahan di masyarakat. Bahkan, ungkapnya, juga tidak bisa dihindari untuk mencari benefit (finansial).
“Saya percaya segala aspek harus dilakukan, kita tidak bisa menghindar dari kepentingan benefit. Estetika seni juga penting. Tapi seni juga bisa menginspirasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam hidup,” ujar Erawan dalam sarasehan dilakukan secara daring dan luring diikuti lebih dari 100 peserta dari kalangan seniman, mahasiswa, dan masyarakat umum lainnya.
Erawan dalam setiap karya seninya, yang banyak berupa ritus rupa, selalu menyerukan kesadaran tentang diri, alam, hingga sosial. Namun, Erawan mengatakan sebagai seorang seniman, fokus pertama haruslah pada karya seni itu sendiri, dalam artian estetikanya.
Ritus Rupa karya Erawan yang merespons kondisi mutakhir di tengah kondisi pandemi Covid-19 adalah ‘Ritus Rupa Parisuda Bumi’ di Pantai Sanur pada akhir tahun 2020. Dalam karya tersebut Erawan menghadirkan sebuah peristiwa ritus sebagai refleksi, bahwa di tengah kondisi pandemi global yang menimbulkan kecemasan seluruh dunia ini, kita sebagai manusia harus kembali pada kesadaran dan pembersihan jiwa-jiwa kita dari kecemasan, dalam kewaspadaan menghadapi kondisi pandemi ini.
“Ritus Rupa yang berpusat di pantai saya ambil dari spirit prosesi nangluk merana, sebuah upaya niskala yang ditempuh oleh para tetua kita untuk menghadapi segala pengaruh buruk dari wabah atau mrana dalam istilah Bali. Laut dengan segala misteri dan kedalamannya diyakini sebagai sumber segala penyucian, penetralisir segala kekacauan agar harmoni kembali terjadi,” tuturnya.
Sementara itu seniman asal Kota Bandung Tisna Sanjaya mengamini apa yang dilakukan oleh Erawan. Seniman yang juga mengajar di ITB Bandung ini menambahkan kolaborasi dengan berbagai pihak sangat penting untuk mengatasi permasalahan lingkungan, termasuk pihak di luar seniman, seperti politikus, akademisi, maupun komunitas pecinta lingkungan.
“Kita harus dengan rendah hati mau mencoba berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mendiskusikan permasalahan lingkungan, tidak mudah memang. Saya sudah bicara dengan politisi, biolog, dan mayarakat lainnya,” ungkapnya.
Ia menambahkan setiap karya seni yang ia buat, tidak hanya bertujuan artistik atau estetik, tapi juga berusaha menjawab berbagai tantangan zaman. Tisna menginginkan setiap karyanya bisa dilebarkan menjadi sebuah peristiwa budaya. Sehingga dengan demikian otomatis seorang seniman tidak lagi bekerja secara personal atau sendiri, namun harus berkolaborasi dengan berbagai kalangan.
Dalam rangka itu, Tisna bersama dengan koleganya, bahkan menciptakan mata kuliah baru di tempatnya mengajar, ITB Bandung. Mata kuliah itu ia beri nama Seni, Desain, dan Lingkungan atau Sendal. “Seni tidak hanya lukis, patung, dan lain sebagainya, tapi seni juga harus bisa berubah metodenya, bentuknya. Tujuannya ya itu, agar bisa diapresiasi oleh masyarakat,” tutur Tisna. *adi
1
Komentar