PROYEKSI 2017 : Bidang Olahraga
Gairah Piala AFF 2016 Menuju Pentas Dunia
Publik bola mungkin masih ingat jargon ‘Sepakbola Menuju Pentas Dunia’ pada dekade 1990-an. Harapan itu seolah akan menjadi kenyataan, ketika PSSI berhasil menyatukan kompetisi perserikatan dan Galatama menjadi Liga Indonesia. Lalu, disusul semaraknya pemain asing meramaikan Liga Sepakbola Indonesia (LSI).
Ya, harapan pun tinggal harapan. Puncaknya, jargon itu ditelan carut marut yang bernuansa politik yang berimbas mulai hulu hingga hilir sepakbola nasional. Lalu berujung ‘masa suram menyusul sanksi FIFA sejak 2015 hingga Mei 2016.
Catatan sepanjang 2016, setidaknya ada empat momentum untuk kembali menata sepakbola Indonesia di masa depan. Mulai turnamen pengganti bertajuk Indonesian Soccer Championship, terlepasnya sanksi PSSI dari FIFA, pembentukan pengurus baru PSSI, sampai pergelaran Piala AFF 2016 U-19 dan senior.
Benang merah momentum itu, yakni kembali bergairahnya sepakbola Indonesia. Momentum pamungkas diwarnai prestasi timnas senior di Piala AFF 2016, yang sejenak menyatukan Indonesia. Tak ada perbedaan suku, ras, dan agama yang se¬lama ini sedang hangat mendera ranah politik.
Ya, perjalanan sepakbola nasional pada 2016 masih diawali adanya sanksi FIFA, sehingga tidak ada kompetisi resmi. Indonesian Soccer Championship (ISC) menjadi satu-satunya kompetisi sepakbola nasional yang bergulir pada 2016. Ko¬mpetisi ini pengganti sementara Indonesia Super League (ISL).
Kompetisi TSC pun bergulir mulai 9 April 2016 di bawah naungan PT Gelora Trisula Semesta (GTS) sebagai operator. Di akhir TISC pada 19 Desember 2016, Persipura Jayapura sebagai juara dan Arema Cronus sebagai runner up. Pada 13 Mei 2016, FIFA mencabut sanksi Indonesia setelah setahun hukuman berjalan. Keputusan FIFA dilatarbelakangi kesediaan Menteri Pemuda dan Olahraga (Men¬pora) Imam Nahrawi menarik surat pembekuan PSSI yang kerap dianggap sebagai intervensi pemerintah.
Presiden FIFA Gianni Infantino mengatakan, pencabutan sanksi dilakukan setelah pemerintah Indonesia mencabut surat pembekuan aktivitas PSSI. Peristiwa itu disa¬m¬but gembira banyak pihak. Masyarakat kembali mendapat tontonan sepakbola dan pemain mendapatkan pekerjaannya kembali.
Lembaran baru dimulai dengan Kongres PSSI di Jakarta, 10 November 2016, yang menaikkan Letjen TNI Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI 2016-2020, dengan didampingi Iwan Budianto dan Joko Driyono sebagai wakil ketua.
Pencabutan sanksi FIFA itu membuat timnas Indonesia boleh kembali berlaga di turnamen sepakbola internasional. PSSI pun menunjuk Alfred Riedl sebagai pelatih Timas, Juni 2016. Selanjutnya, Riedl mengantarkan timnas menembus final Piala AFF 2016. Boaz Solossa cs sempat membuka harapan memberi trofi pertama Piala AFF saat menang 2-1 atas Thailand pada final pertama, 14 Desember 2016. Sa¬yang, Thailand membalas 2-0 di Bangkok pada 17 Desember, hingga Indonesia kalah agregat 2-3.
Toh, keberhasilan Timnas ke final Piala AFF 2016 itu dianggap sebagai prestasi istimewa. Prestasi Boaz Solossa cs tetap diapresiasi masyarakat dan juga pemerin¬tah. Bahkan, mereka mendapatkan bonus dari pemerintah Rp 200 juta per orang. Ya, sebuah hasrat dan gairah besar menuju pentas dunia.
Harapan sepakbola Indonesia kembali berkibar di kancah internasional akan terus bergelora. Masyarakat kembali akan menunggu kiprah timnas di SEA Games Ma¬la¬ysia, Agustus 2017. Juga even-even penting lainnya, seperti kualifikasi Piala Du¬nia maupun Piala Asia. Mampukah ?
Siapapun harus jujur, sepakbola nasional belum keluar dari persoalan-persoalan lama dan itu-itu juga. Belum ada langkah maju dan inovatif terkait kompetisi, pe¬mbinaan usia dini, penanganan organisasi, sarana dan prasarana, serta tetap men¬jadi ‘tunggangan’ politis.
Diakui atau tidak, sejak tahun 1990 pun hingga kini Indonesia belum memiliki cetak biru yang diiringi langkah konkret ‘Sepakbola Meuju Pentas Dunia’. Lang¬kah-langkah yang dibangun seringkali tidak seiring seirama. Lihat saja soal kompetisi yang bertabur pemain asing tidak dibarengi kompetisi tingkat belia atau usia dini. Namun, yang paling parah adalah soal organisasi kepengurusan. Masih sarat kepentingan politik kekuasan dan jauh dari profesionalisme.
Selalu saja muncul anggapan, orang-orang yang aktif di organisasi kepengurusan sepakbola, adalah mereka mencari hidup di sepakbola bukan menghidupkan sepakbola. Kepengurusan seringkali bukan representasi klub-klub yang mengikuti kompetisi. Bahkan, di antaranya para petualang yang tidak memiliki economic recources.
Karena itu, sungguh sangat dibutuhkan profesionalisme organsiasi terkait, dalam hal ini PSSI mulai dari pusat hingga daerah dalam membangun prestasi sepakbola nasional. Profesionalisme sekarang sangatlah sudah pudar tergantikan sifat mate¬rialisme yang membuahkan kecongkakan. Sikap pengabdian seharusnya dimiliki para pengurus PSSI.
Tampaknya, aspek mental dan semangat pengabdian para pengurus sepakbola itu¬lah sering menjadi kelemahan sepakbola di Indonesia. Tak terkecuali, mulai dari pusat hingga sampai daerah, mulai dari hulu hingga hilir.
Seperti apa wajah sepakbola ke depan (setidaknya dalam empat tahun mendatang), kita tunggu hasil Kongres PSSI di Bandung, awal Januari 2017. Apakah Kongres itu menghasilkan konsep pembaharuan sepakbola nasional? Adakah perubahan yang siginifikan atau apakah tetap seperti yang dulu? *
Budi Harminto
---------------------------
Wartawan NusaBali
Ya, harapan pun tinggal harapan. Puncaknya, jargon itu ditelan carut marut yang bernuansa politik yang berimbas mulai hulu hingga hilir sepakbola nasional. Lalu berujung ‘masa suram menyusul sanksi FIFA sejak 2015 hingga Mei 2016.
Catatan sepanjang 2016, setidaknya ada empat momentum untuk kembali menata sepakbola Indonesia di masa depan. Mulai turnamen pengganti bertajuk Indonesian Soccer Championship, terlepasnya sanksi PSSI dari FIFA, pembentukan pengurus baru PSSI, sampai pergelaran Piala AFF 2016 U-19 dan senior.
Benang merah momentum itu, yakni kembali bergairahnya sepakbola Indonesia. Momentum pamungkas diwarnai prestasi timnas senior di Piala AFF 2016, yang sejenak menyatukan Indonesia. Tak ada perbedaan suku, ras, dan agama yang se¬lama ini sedang hangat mendera ranah politik.
Ya, perjalanan sepakbola nasional pada 2016 masih diawali adanya sanksi FIFA, sehingga tidak ada kompetisi resmi. Indonesian Soccer Championship (ISC) menjadi satu-satunya kompetisi sepakbola nasional yang bergulir pada 2016. Ko¬mpetisi ini pengganti sementara Indonesia Super League (ISL).
Kompetisi TSC pun bergulir mulai 9 April 2016 di bawah naungan PT Gelora Trisula Semesta (GTS) sebagai operator. Di akhir TISC pada 19 Desember 2016, Persipura Jayapura sebagai juara dan Arema Cronus sebagai runner up. Pada 13 Mei 2016, FIFA mencabut sanksi Indonesia setelah setahun hukuman berjalan. Keputusan FIFA dilatarbelakangi kesediaan Menteri Pemuda dan Olahraga (Men¬pora) Imam Nahrawi menarik surat pembekuan PSSI yang kerap dianggap sebagai intervensi pemerintah.
Presiden FIFA Gianni Infantino mengatakan, pencabutan sanksi dilakukan setelah pemerintah Indonesia mencabut surat pembekuan aktivitas PSSI. Peristiwa itu disa¬m¬but gembira banyak pihak. Masyarakat kembali mendapat tontonan sepakbola dan pemain mendapatkan pekerjaannya kembali.
Lembaran baru dimulai dengan Kongres PSSI di Jakarta, 10 November 2016, yang menaikkan Letjen TNI Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI 2016-2020, dengan didampingi Iwan Budianto dan Joko Driyono sebagai wakil ketua.
Pencabutan sanksi FIFA itu membuat timnas Indonesia boleh kembali berlaga di turnamen sepakbola internasional. PSSI pun menunjuk Alfred Riedl sebagai pelatih Timas, Juni 2016. Selanjutnya, Riedl mengantarkan timnas menembus final Piala AFF 2016. Boaz Solossa cs sempat membuka harapan memberi trofi pertama Piala AFF saat menang 2-1 atas Thailand pada final pertama, 14 Desember 2016. Sa¬yang, Thailand membalas 2-0 di Bangkok pada 17 Desember, hingga Indonesia kalah agregat 2-3.
Toh, keberhasilan Timnas ke final Piala AFF 2016 itu dianggap sebagai prestasi istimewa. Prestasi Boaz Solossa cs tetap diapresiasi masyarakat dan juga pemerin¬tah. Bahkan, mereka mendapatkan bonus dari pemerintah Rp 200 juta per orang. Ya, sebuah hasrat dan gairah besar menuju pentas dunia.
Harapan sepakbola Indonesia kembali berkibar di kancah internasional akan terus bergelora. Masyarakat kembali akan menunggu kiprah timnas di SEA Games Ma¬la¬ysia, Agustus 2017. Juga even-even penting lainnya, seperti kualifikasi Piala Du¬nia maupun Piala Asia. Mampukah ?
Siapapun harus jujur, sepakbola nasional belum keluar dari persoalan-persoalan lama dan itu-itu juga. Belum ada langkah maju dan inovatif terkait kompetisi, pe¬mbinaan usia dini, penanganan organisasi, sarana dan prasarana, serta tetap men¬jadi ‘tunggangan’ politis.
Diakui atau tidak, sejak tahun 1990 pun hingga kini Indonesia belum memiliki cetak biru yang diiringi langkah konkret ‘Sepakbola Meuju Pentas Dunia’. Lang¬kah-langkah yang dibangun seringkali tidak seiring seirama. Lihat saja soal kompetisi yang bertabur pemain asing tidak dibarengi kompetisi tingkat belia atau usia dini. Namun, yang paling parah adalah soal organisasi kepengurusan. Masih sarat kepentingan politik kekuasan dan jauh dari profesionalisme.
Selalu saja muncul anggapan, orang-orang yang aktif di organisasi kepengurusan sepakbola, adalah mereka mencari hidup di sepakbola bukan menghidupkan sepakbola. Kepengurusan seringkali bukan representasi klub-klub yang mengikuti kompetisi. Bahkan, di antaranya para petualang yang tidak memiliki economic recources.
Karena itu, sungguh sangat dibutuhkan profesionalisme organsiasi terkait, dalam hal ini PSSI mulai dari pusat hingga daerah dalam membangun prestasi sepakbola nasional. Profesionalisme sekarang sangatlah sudah pudar tergantikan sifat mate¬rialisme yang membuahkan kecongkakan. Sikap pengabdian seharusnya dimiliki para pengurus PSSI.
Tampaknya, aspek mental dan semangat pengabdian para pengurus sepakbola itu¬lah sering menjadi kelemahan sepakbola di Indonesia. Tak terkecuali, mulai dari pusat hingga sampai daerah, mulai dari hulu hingga hilir.
Seperti apa wajah sepakbola ke depan (setidaknya dalam empat tahun mendatang), kita tunggu hasil Kongres PSSI di Bandung, awal Januari 2017. Apakah Kongres itu menghasilkan konsep pembaharuan sepakbola nasional? Adakah perubahan yang siginifikan atau apakah tetap seperti yang dulu? *
Budi Harminto
---------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar