PROYEKSI 2017 : Bidang Ekonomi
Simalakama Target Wisatawan dan Penantian Infrastruktur
Tidak bisa dipungkiri, tahun 2016 menjadi tahun yang sulit. Meminjam istilah pelaku bisnis, ‘sangat sulit dan penuh tantangan’. Situasi ekonomi global membuat pertumbuhan perekonomian mengalami perlambatan, daya beli menurun. Tak ayal, pertumbuhan ekonomi nasional pun ikut menurun.
Kabar bagusnya bagi Bali, pertumbuhan perekonomian di Pulau Dewata masih lebih bagus dibandingkan nasional. Pertumbuhan perekonomian Provinsi Bali pada triwulan III-2016 mencapai 6,17 persen atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi secara nasional yang hanya sebesar 5,02 persen (yoy). Sebelumnya, pada triwulan II-2016, pertumbuhan perekonomian Bali juga menyentuh angka 6,54 persen (yoy), saat pertumbuhan secara nasional ‘hanya’ 5,18 persen.
Rapor Bali yang selalu lebih baik daripada nasional ini tak lepas dari sektor pariwisata. Dari sektor inilah, multyflier effect terjadi. Pariwisata tak hanya soal akomodasi berupa hunian hotel, melainkan turunan lainnya sebagai penunjang wisatawan menjadi faktor penggerak bagi perekonomian Bali.
Hingga menjelang tutup tahun 2016, Bali sudah mampu menyedot sekitar 4,5 juta wisatawan mancanegara. Sedangkan jumlah wisatawan domestik menyentuh angka 7 juta. Jadi, sepanjang 2016, jumlah wisatawan ke Bali diperkirakan menembus angka 11-12 juta orang atau hampir tiga kali lipat jumlah penduduk Bali sendiri.
Menjadi dilematis karena keindahan Pulau Seribu Pura ini terkesan semrawut. Kepadatan lalulintas tak bisa dihindari, terutama di daerah-daerah pariwisata, terutama Bali Selatan. Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban, Kecamatan Kuta, Badung yang sudah diperbarui, juga kesulitan memberi rasa nyaman lantaran kepadatan penumpang.
Di sisi lain, Bali mendapat ‘PR’ besar dari pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mencanangkan target 20 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2019 atau kurang 3 tahun lagi. Pasalnya, dari 20 juta wisman tersebut, Bali seperti biasanya memberi kontribusi 40 persen total seluruh wisman yang berkunjung ke Indonesia. Artinya, pada 2019 Bali dibebani target mendatangkan 8 juta wisman alias dua kali lipat dari kondisi riil 2016.
Sanggupkah? Sanggup jika melihat potensi pariwisata di Bali yang sangat banyak dan sebagian besar masih belum dikembangkan. Tapi, akan menjadi pesimis jika melihat sektor infrastruktur. Bandara Ngurah Rai mau tak mau harus mendapat pendamping bandara baru untuk membagi beban. Rencana pembangunan bandara di Bali Utara yang dalam setahun terakhir menyeruak, harus segera diwujudkan.
Sementara pembangunan infrastruktur yang menghubungkan wilayah utara dan selatan serta barat dan timur, juga wajib dibangun. Entah berupa short cut, under pass, hingga mewujudkan wacana-wacana jalan di atas persawahan dan lain sebagainya. Tentu saja untuk proyek infrastruktur ini tak bisa mengandalkan dari Bali saja. Jika mengandalkan dana daerah, niscaya tak akan sanggup. Pemkab Badung pun pasti angkat tangan jika harus membuat jalan lingkar yang rencananya dibangun di kawasan Jalan Pratama Benoa dan kawasan Kampus Unud Bukit Jimbaran.
Jika faktor penunjang ini tidak diwujudkan, bisa dibayangkan betapa makin semrawutnya Bali. Dan, sungguh ‘ngeri-ngeri sedap’ infrastruktur yang ada sekarang dibebani 8 juta wisman plus jutaan wisatawan domestik.
Cukup itu saja? Tentu saja tidak. Pemerintah juga harus ikut mendukung regulasi. Pengalaman pada 2015 membuat industri hotel menjadi kalang-kabut tatkala Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (waktu itu) Yuddy Chrisnandi melarang rapat di hotel. Saat itu, hotel yang mengandalkan MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) terkena dampaknya. Bahkan, hotel yang tidak mengandalkan MICE juga terkena imbas, karena peserta rapat yang biasanya melakukan leisure di destinasi akomodasi lain ikut menghilang.
Di sisi lain, kreativitas insan pariwisata Bali harus muncul. Pasalnya, pemerintahan Jokowi juga sedang mencanangkan ’10 Bali Baru’. Di sini Bali akan bertarung dengan destinasi yang bakal digeber habis oleh pemerintah. Saat itulah ‘nilai lebih’ Bali yang memiliki kekhasan pariwisata budaya harus makin ditonjolkan. Pasalnya, jika hanya head to head soal keindahan alam semata, niscaya akan menghadapi pertarungan yang berat. Sebaliknya jika kekayaan seni budaya menyertai Bali, niscaya keunggulan ini yak tak akan bisa dikalahkan oleh ’10 Bali Baru’ tersebut.
Di balik itu, pertarungan internal harus dihadapi oleh pelaku pariwisata di Bali. Apa itu? Ya, bisnis agen perjalanan online menjadi momok sejak beberapa tahun terakhir di Bali. Beruntung, belakangan ini biro perjalanan wisata (BPW) tak hanya mengeluh, melainkan berani menghadapi agen online dengan membuka peluang bisnis dalam jaringan (daring). Kreativitas dan mengikuti kemajuan informasi dan teknologi (IT) memang menjadi sesuatu yang wajib.
Meskipun BPW konvensional masih tetap diminati bagi pelancong grup, tantangan dan kreativitas mengikuti zaman menjadi hal yang wajib dilakukan. Lebih baik lagi jika BPW menjalankan dua metode tersebut; konvensional dan daring, karena sektor pariwisata layaknya masih membutuhkan sentuhan atau bantuan manusia. Perkembangan zaman bukan berarti akan merugikan atau membunuh usaha tetapi harus diambil peluang, kesempatan dan kekuatannya. *
Maolan
----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar