Dari Sastrawan ke Yajamana Panca Balikrama
Mengenang Dharma Upapati Ida Pedanda Gede Wayahan Tianyar
10 hari sebelum lebar, Ida Pedanda telah memberikan isyarat kepada putranya, akan kembali ke Sang Maha Pencipta.
AMLAPURA, NusaBali
Dharma Upapati PHDI Karangasem Ida Pedanda Gede Wayahan Tianyar dari Geria Menara, Banjar Punia, Desa Sinduwati, Kecamatan Sidemen, Karangasem, lebar (meninggal) dalam usia 83 tahun di RSUP Sanglah Denpasar, Sabtu (10/7) pukul 20.30 Wita. Pedanda adalah salah seorang seniman sastra Bali dan Jawa Kuno terbaik yang dimiliki Bali.
Pedanda juga dikenal umat Hindu Bali karena menduduki sejumlah posisi penting keumatan, antara lain menjadi Yajamana Karya Panca Balikrama di Pura Besakih tahun 2019. 10 hari sebelum lebar, Ida Pedanda telah memberikan isyarat kepada putranya, akan kembali ke Sang Maha Pencipta.
Ida Pedanda semasih walaka bernama Ida Bagus Maka, aktif dalam Tim Penyusunan Sastra Klasik Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali tahun 1985-1997. DI tim ini tergabung seniman sastra penulis aksara Bali lontar, Ida I Dewa Gede Catra dari Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Sidemen, Karangasem, sebagai penerjemah. Tugas tim ini menyalin sastra Jawa Kuno ke sastra Indonesia, juga ke sastra Bali dalam bentuk buku.
Sastra Jawa Kuno yang beredar dalam bahasa Jawa Kuna itu munculnya mulai sekitar abad ke-9 hingga abad ke-14, yang diawali prasasti Sukabumi. Karya yang diterjemahkan, ada karya tulis berbentuk prosa dan puisi (kakawin), terutama karya-karya mencakup genre, seperti wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan, yang diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Tim juga menerjemahkan kakawin dari Jawa Kuno ke sastra Bali. Karya sastra Jawa Kuno yang berbentuk kakawin yang diterjemahkan di antaranya Kakawin Tertua Jawa, Ramayana, Arjuna Wiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Smaradahana, Bhomakawya, Bharatayuddha, Hariwangsa, Gatotkacasraya, Wrettasañcaya, Wrettayana, Brahmandapurana, Kunjarakarna, Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Siwaratrikalpa, Lubdhaka, Parthayajna, Nitisastra, Nirarthaprakreta, Dharmasunya, Harisraya, Banawa Sekar Tanakung, dan lain-lain.
Karya Sastra Jawa Kuno yang diterjemahkan dalam bentuk prosa, di antaranya Candakarana, Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana, Agastyaparwa, Uttarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasanaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa, Kunjarakarna dan lain-lain.
Ida Pedanda dikaruniai 4 putra dan 5 cucu, serta memiliki banyak koleksi buku. Di samping aktif mawirama, Ida Pedanda juga dipercaya sebagai dewan juri Lomba Utsawa Dharma Gita Tingkat Kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali. Selepas jadi guru SD (Sekolah Dasar), dipercaya sebagai Penilik Kebudayaan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Sidemen, tahun 1980-an, sehingga antara aktivitas sehari-hari dengan tugas-tugas dinas di kantor, tidak bisa dipisahkan. Ida Pedanda mengoleksi lontar-lontar kuno yang masih tersimpan rapi di Geria Menara. Lontar ini sudah dikonservasi sehingga tetap terawat dengan baik.
"Makanya beliau (Ida Pedanda,Red) semasih walaka lebih dikenal sebagai tokoh sastra Bali," jelas seniman sastra Bali, Ida I Dewa Gede Catra, teman satu angkatan semasih sekolah di SGB (Sekolah Guru Bawah) Bangli tahun 1952-1957, saat dihubungi di kediamannya Jalan Untung Surapati Amlapura, Jumat (16/7).
Masyarakat Karangasem bahkan Bali, jelas Ida I Dewa Gede Catra, merasa kehilangan atas lebarnya Ida Pedanda, tokoh sastrawan Bali yang konsisten berkarya. Ida Pedanda berhenti berkarya setelah jadi sulinggih tahun 1997, karena sibuk melayani umat di bidang upacara keagamaan. Sebagai sulinggih, Ida Pedanda diasuh oleh guru nabe Ida Pedanda Gede Ketut Pidada dari Geria Sindu, Banjar Punia, Kecamatan Sidemen, guru waktra Ida Pedanda Gede Kekeran dari Geria Punia, Banjar Punia, Desa Sinduwati, Kecamatan Sidemen.
Baru beberapa tahun menjadi sulinggih, Ida Pedanda dipercaya sebagai Dharma Upapati Karangasem. Lembaga ini bertugas memimpin sulinggih se-Karangasem, dan membina umat sedharma agar selalu tentram.
Terakhir, Ida Pedanda dipercaya menjadi Yajamana Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih tahun 2019, bersama Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Gria Gede Aan, Banjar/Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung. Yajamana merupakan salah satu dari unsur tri mangala karya, penentu dalam pelaksanaan upakara dengan cara memberdayakan umat sedharma, tugasnya menyiapkan tempat upakara, selalu berkoordinasi dengan wiku tapini dan manggala karya.
Sebelumnya saat Karya Panca Balikrama di Pura Sad Kahyangan Lempuyang, di Desa Adat Purwayu, Desa Tribuana, Kecamatan Abang, tahun 2018, Ida Pedanda juga dipercaya sebagai Yajamana bersama Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Geria Gede Aan, Desa/Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik Dwaja dari Geria Jelantik Dauh Pasar, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem dan Ida Pedanda Wayahan Wanasari selaku Dharma Upapati Bali.
Ketua PHDI Karangasem Dr Ni Nengah Rustini MAg mengaku sangat kehilangan tokoh besar yang selama ini jadi panutan dan diteladani umat sedharma. "Banyak petunjuk ajaran dharma kami dapatkan yang layak diteruskan untuk generasi mendatang. Ida Pedanda Gede Wayahan Tianyar bagi kami, adalah inspirasi di dalam hal memberikan penyuluhan kepada umat sedharma," jelas mantan Kepala Kantor Kementerian Agama Karangasem. *nantra
Dharma Upapati PHDI Karangasem Ida Pedanda Gede Wayahan Tianyar dari Geria Menara, Banjar Punia, Desa Sinduwati, Kecamatan Sidemen, Karangasem, lebar (meninggal) dalam usia 83 tahun di RSUP Sanglah Denpasar, Sabtu (10/7) pukul 20.30 Wita. Pedanda adalah salah seorang seniman sastra Bali dan Jawa Kuno terbaik yang dimiliki Bali.
Pedanda juga dikenal umat Hindu Bali karena menduduki sejumlah posisi penting keumatan, antara lain menjadi Yajamana Karya Panca Balikrama di Pura Besakih tahun 2019. 10 hari sebelum lebar, Ida Pedanda telah memberikan isyarat kepada putranya, akan kembali ke Sang Maha Pencipta.
Ida Pedanda semasih walaka bernama Ida Bagus Maka, aktif dalam Tim Penyusunan Sastra Klasik Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali tahun 1985-1997. DI tim ini tergabung seniman sastra penulis aksara Bali lontar, Ida I Dewa Gede Catra dari Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Sidemen, Karangasem, sebagai penerjemah. Tugas tim ini menyalin sastra Jawa Kuno ke sastra Indonesia, juga ke sastra Bali dalam bentuk buku.
Sastra Jawa Kuno yang beredar dalam bahasa Jawa Kuna itu munculnya mulai sekitar abad ke-9 hingga abad ke-14, yang diawali prasasti Sukabumi. Karya yang diterjemahkan, ada karya tulis berbentuk prosa dan puisi (kakawin), terutama karya-karya mencakup genre, seperti wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan, yang diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Tim juga menerjemahkan kakawin dari Jawa Kuno ke sastra Bali. Karya sastra Jawa Kuno yang berbentuk kakawin yang diterjemahkan di antaranya Kakawin Tertua Jawa, Ramayana, Arjuna Wiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Smaradahana, Bhomakawya, Bharatayuddha, Hariwangsa, Gatotkacasraya, Wrettasañcaya, Wrettayana, Brahmandapurana, Kunjarakarna, Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Siwaratrikalpa, Lubdhaka, Parthayajna, Nitisastra, Nirarthaprakreta, Dharmasunya, Harisraya, Banawa Sekar Tanakung, dan lain-lain.
Karya Sastra Jawa Kuno yang diterjemahkan dalam bentuk prosa, di antaranya Candakarana, Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana, Agastyaparwa, Uttarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasanaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa, Kunjarakarna dan lain-lain.
Ida Pedanda dikaruniai 4 putra dan 5 cucu, serta memiliki banyak koleksi buku. Di samping aktif mawirama, Ida Pedanda juga dipercaya sebagai dewan juri Lomba Utsawa Dharma Gita Tingkat Kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali. Selepas jadi guru SD (Sekolah Dasar), dipercaya sebagai Penilik Kebudayaan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Sidemen, tahun 1980-an, sehingga antara aktivitas sehari-hari dengan tugas-tugas dinas di kantor, tidak bisa dipisahkan. Ida Pedanda mengoleksi lontar-lontar kuno yang masih tersimpan rapi di Geria Menara. Lontar ini sudah dikonservasi sehingga tetap terawat dengan baik.
"Makanya beliau (Ida Pedanda,Red) semasih walaka lebih dikenal sebagai tokoh sastra Bali," jelas seniman sastra Bali, Ida I Dewa Gede Catra, teman satu angkatan semasih sekolah di SGB (Sekolah Guru Bawah) Bangli tahun 1952-1957, saat dihubungi di kediamannya Jalan Untung Surapati Amlapura, Jumat (16/7).
Masyarakat Karangasem bahkan Bali, jelas Ida I Dewa Gede Catra, merasa kehilangan atas lebarnya Ida Pedanda, tokoh sastrawan Bali yang konsisten berkarya. Ida Pedanda berhenti berkarya setelah jadi sulinggih tahun 1997, karena sibuk melayani umat di bidang upacara keagamaan. Sebagai sulinggih, Ida Pedanda diasuh oleh guru nabe Ida Pedanda Gede Ketut Pidada dari Geria Sindu, Banjar Punia, Kecamatan Sidemen, guru waktra Ida Pedanda Gede Kekeran dari Geria Punia, Banjar Punia, Desa Sinduwati, Kecamatan Sidemen.
Baru beberapa tahun menjadi sulinggih, Ida Pedanda dipercaya sebagai Dharma Upapati Karangasem. Lembaga ini bertugas memimpin sulinggih se-Karangasem, dan membina umat sedharma agar selalu tentram.
Terakhir, Ida Pedanda dipercaya menjadi Yajamana Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih tahun 2019, bersama Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Gria Gede Aan, Banjar/Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung. Yajamana merupakan salah satu dari unsur tri mangala karya, penentu dalam pelaksanaan upakara dengan cara memberdayakan umat sedharma, tugasnya menyiapkan tempat upakara, selalu berkoordinasi dengan wiku tapini dan manggala karya.
Sebelumnya saat Karya Panca Balikrama di Pura Sad Kahyangan Lempuyang, di Desa Adat Purwayu, Desa Tribuana, Kecamatan Abang, tahun 2018, Ida Pedanda juga dipercaya sebagai Yajamana bersama Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Geria Gede Aan, Desa/Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik Dwaja dari Geria Jelantik Dauh Pasar, Banjar Triwangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem dan Ida Pedanda Wayahan Wanasari selaku Dharma Upapati Bali.
Ketua PHDI Karangasem Dr Ni Nengah Rustini MAg mengaku sangat kehilangan tokoh besar yang selama ini jadi panutan dan diteladani umat sedharma. "Banyak petunjuk ajaran dharma kami dapatkan yang layak diteruskan untuk generasi mendatang. Ida Pedanda Gede Wayahan Tianyar bagi kami, adalah inspirasi di dalam hal memberikan penyuluhan kepada umat sedharma," jelas mantan Kepala Kantor Kementerian Agama Karangasem. *nantra
Komentar