Lelang Lukisan, Disumbangkan ke Warga Terdampak Covid-19
Ni Kadek Windari, Pelukis Disabilitas Asal Desa Banjar Asem, Kecamatan Seririt
Kadek Windari berharap ke depannya ada dukungan dari pemerintah daerah untuk menyediakan wadah bagi kaum disabilitas, seperti yang dilakukan Jogjakarta melalui Jogja Disability Art
SINGARAJA, NusaBali
Keterbatasan fisik tidak selalu menghalangi seseorang untuk berkarya. Bahkan, banyak penyandang disabilitas yang menjelma menjadi orang hebat di tengah keterbatasan mereka. Contohnya, Ni Kadek Windari, 30, pelukis penyandang disabilitas asal Banjar Dinas Anakan, Desa Banjar Asem, Kecamatan Seririt, Buleleng, yang bikin gerakan mulia melelang lukisan di mana setengah hasilnya disumbangkan untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19.
Kadek Windari adalah penderita Muscular Dystrophy, yakni mengalami keterbatasan gerak karena melemahnya otot di tubuh. Meski dalam keterbatasan, perempuan disabilitas berusia 30 tahun ini masih terus berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Dia juga berusaha membantu sesama dengan keterampilannya sebagai pelukis.
Kadek Windari sendiri mulai total mengasah keterampilan di bidang seni lukis sejak tahun 2015. Dia tak pernah menempuh pendidikan formal, apalagi masuk jurusan seni rupa di perguruan tinggi. Semua keterampilan dan pengetahuannya sebagai pelukis didapatkan secara otodidak.
Gejala penyakit yang membuat tubuhnya lumpuh diderita Kadek Windari sejak masih berumur 6 tahun. Awalnya, saat berjalan, anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ketut Punia dan Komang Warsiki ini sering jatuh, hingga kondisinya terus melemah dan menjadi lumpuh. Kondisi dan penyakit yang sama juga dialami kakak sulungnya, I Putu Agus Setiawan, 34.
Menurut Kadek Windari, kondisi ekonomi kedua orangtuanya yang serba kekurangan, disusul kepergian sang ayah, I Ketut Punia, yang meninggal dunia beberapa trahun silam, mengharuskannya tetap tabah dan kuat. “Melihat beban ibu sangat berat setelah ayah meninggal, saya dan kakak termotivasi untuk bisa bantu ibu. Akhirnya, Tuhan me-mberikan jalan melalui lukisan yang saya buat,” tutur Kadek Windari saat dihubungi NusaBali di Desa Banjar Asem, Kecamatan Seririt, Bule-leng, Minggu (18/7).
Kadek Windari mengisahkan, awalnya dia melukis di atas kanvas saat mendapatkan bantuan alat lukis dari sorang pengusaha hotel. Sejak itu, hari-harinya di rumah dimanfaatkan untuk mengasah keterampilan melukis. Pada tahun 2015, lukisannya mulai laku terjual.
Lukisan yang dibuat Kadek Windari umumnya bergaya Balinese dan Chinese. Jika situasi normal, dalam sebulan dia bisa menjual 3-4 lukisan. Namun di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, dalams sebulan maksimal 2 lukisan yang dipesan orang.
Harga lukisannya dibandrol Rp 1,5 juta hingga Rp 8 juta, tergantung bahan dan ukurannya. Untuk lukisan berukuran 70 cm x 50 cm biasanya dikerjakan Kadek Windari selama 8 hari.
Baru-baru ini, Kadek Windari sempat mengikuti pameran lukisan scara virtual yang dilaksanakan oleh Jogja Disabilitas Art. Dalam pameran yang dibuka pada 15 Juli 2021 tersebut, dia menyertakan 2 lukisannya. Salah satunya berjudul Pasar Bali, smentara satunya lagi berjudul Batik dan Wanita.
“Lukisan berjudul Batik dan Wanita sudah laku, dibeli teman dari Norwegia seharga Rp 3,5 juta. Sedangkan lukisan Pasar Bali dilelang atas kerja sama dengan Yayasan SeSama. Lukisan ini juga sudah laku, hasil lelang setengahnya saya sumbangkan untuk mereka yang terdampak pandemi Covid-19,” tutur perempuan disabilitas kelahiran Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, 9 Desember 1990 ini.
Kadek Windari mengaku banyak mendapatkan ide lukisan saat menjajal media sosial melalui HP Androidnya. Dia juga banyak belajar dengan membaca katalog-katalog pameran seniman ternama. Lukisan yang dibuatnya semua by request. Hanya beberapa saja yang dibuat khusus jika akan mengikuti pameran lukisan.
Selama 6 tahun berkarier di dunia seni lukis, Kadek Windari sudah sering mengikuti sejumlah pameran seni rupa, baik virtual maupun langsung. Sedangkan khusus pameran Jogja Disability Art, sudah dua kali dia ikuti. Kadek Windari juga sempat mengikuti pameran lukisan khusus bagi disabilitas yang digelar Kemensos tahun 2020 lalu.
Yang membuatnya terharu, Kadek Windari sempat difasilitasi melangsungkan pameran tunggal di Grand Mall Metropolitan Jakarta. Kala itu, 12 lukisannya langsung amblas dilelang panitia. “Saat itu, yang paling mahal laku terjual Rp 10 juta. Tapi, pameran tunggal ini memang ditujukan untuk amal, sehingga beberapa persen hasil penjualannya disumbangkan ke Yayasan Kanker dan Bayi Telantar,” kenang Kadek Windari.
Menurut Kadek Windari, selain pameran, dia biasa mempromosikan lukisannya di media sosial. Sebelum pandemi Covid-19, rumahnya yang dekat dengan beberapa hotel dikawasan Seririt sering disambangi turis. “Kalau sebelum pandemi, ada saja turis yang mampir untuk pesan lukisan. Ada yang dari Australia, Jerman, Amerika Serita, ada pula dari Belgia,” katanya.
Di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 1,5 tahun sejak Maret 2020, hasil jualan lukisan memang menurtun. Namun, Kadek Windari mengaku sangat bersyukur, karena masih ada pesanan. Ke depannya dia berharap mendapat dukungan dari pemerintah daerah, untuk menyediakan wadah bagi kaum disabilitas, seperti yang dilakukan Jogjakarta melalui Jogja Disability Art.
“Aku harap sih ada pihak yang bisa mendukung kaum disablitas dalam berkarya, menyediakan wadah promosi sehingga karya-karya kami bisa dikenal masyarakat luas. Selain juga untuk memotivisi teman-teman yang bernasib sama dengan kami agar tetap semangat dalam memperjuangkan hiudp,” harapnya. *k23
Kadek Windari adalah penderita Muscular Dystrophy, yakni mengalami keterbatasan gerak karena melemahnya otot di tubuh. Meski dalam keterbatasan, perempuan disabilitas berusia 30 tahun ini masih terus berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Dia juga berusaha membantu sesama dengan keterampilannya sebagai pelukis.
Kadek Windari sendiri mulai total mengasah keterampilan di bidang seni lukis sejak tahun 2015. Dia tak pernah menempuh pendidikan formal, apalagi masuk jurusan seni rupa di perguruan tinggi. Semua keterampilan dan pengetahuannya sebagai pelukis didapatkan secara otodidak.
Gejala penyakit yang membuat tubuhnya lumpuh diderita Kadek Windari sejak masih berumur 6 tahun. Awalnya, saat berjalan, anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ketut Punia dan Komang Warsiki ini sering jatuh, hingga kondisinya terus melemah dan menjadi lumpuh. Kondisi dan penyakit yang sama juga dialami kakak sulungnya, I Putu Agus Setiawan, 34.
Menurut Kadek Windari, kondisi ekonomi kedua orangtuanya yang serba kekurangan, disusul kepergian sang ayah, I Ketut Punia, yang meninggal dunia beberapa trahun silam, mengharuskannya tetap tabah dan kuat. “Melihat beban ibu sangat berat setelah ayah meninggal, saya dan kakak termotivasi untuk bisa bantu ibu. Akhirnya, Tuhan me-mberikan jalan melalui lukisan yang saya buat,” tutur Kadek Windari saat dihubungi NusaBali di Desa Banjar Asem, Kecamatan Seririt, Bule-leng, Minggu (18/7).
Kadek Windari mengisahkan, awalnya dia melukis di atas kanvas saat mendapatkan bantuan alat lukis dari sorang pengusaha hotel. Sejak itu, hari-harinya di rumah dimanfaatkan untuk mengasah keterampilan melukis. Pada tahun 2015, lukisannya mulai laku terjual.
Lukisan yang dibuat Kadek Windari umumnya bergaya Balinese dan Chinese. Jika situasi normal, dalam sebulan dia bisa menjual 3-4 lukisan. Namun di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, dalams sebulan maksimal 2 lukisan yang dipesan orang.
Harga lukisannya dibandrol Rp 1,5 juta hingga Rp 8 juta, tergantung bahan dan ukurannya. Untuk lukisan berukuran 70 cm x 50 cm biasanya dikerjakan Kadek Windari selama 8 hari.
Baru-baru ini, Kadek Windari sempat mengikuti pameran lukisan scara virtual yang dilaksanakan oleh Jogja Disabilitas Art. Dalam pameran yang dibuka pada 15 Juli 2021 tersebut, dia menyertakan 2 lukisannya. Salah satunya berjudul Pasar Bali, smentara satunya lagi berjudul Batik dan Wanita.
“Lukisan berjudul Batik dan Wanita sudah laku, dibeli teman dari Norwegia seharga Rp 3,5 juta. Sedangkan lukisan Pasar Bali dilelang atas kerja sama dengan Yayasan SeSama. Lukisan ini juga sudah laku, hasil lelang setengahnya saya sumbangkan untuk mereka yang terdampak pandemi Covid-19,” tutur perempuan disabilitas kelahiran Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, 9 Desember 1990 ini.
Kadek Windari mengaku banyak mendapatkan ide lukisan saat menjajal media sosial melalui HP Androidnya. Dia juga banyak belajar dengan membaca katalog-katalog pameran seniman ternama. Lukisan yang dibuatnya semua by request. Hanya beberapa saja yang dibuat khusus jika akan mengikuti pameran lukisan.
Selama 6 tahun berkarier di dunia seni lukis, Kadek Windari sudah sering mengikuti sejumlah pameran seni rupa, baik virtual maupun langsung. Sedangkan khusus pameran Jogja Disability Art, sudah dua kali dia ikuti. Kadek Windari juga sempat mengikuti pameran lukisan khusus bagi disabilitas yang digelar Kemensos tahun 2020 lalu.
Yang membuatnya terharu, Kadek Windari sempat difasilitasi melangsungkan pameran tunggal di Grand Mall Metropolitan Jakarta. Kala itu, 12 lukisannya langsung amblas dilelang panitia. “Saat itu, yang paling mahal laku terjual Rp 10 juta. Tapi, pameran tunggal ini memang ditujukan untuk amal, sehingga beberapa persen hasil penjualannya disumbangkan ke Yayasan Kanker dan Bayi Telantar,” kenang Kadek Windari.
Menurut Kadek Windari, selain pameran, dia biasa mempromosikan lukisannya di media sosial. Sebelum pandemi Covid-19, rumahnya yang dekat dengan beberapa hotel dikawasan Seririt sering disambangi turis. “Kalau sebelum pandemi, ada saja turis yang mampir untuk pesan lukisan. Ada yang dari Australia, Jerman, Amerika Serita, ada pula dari Belgia,” katanya.
Di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 1,5 tahun sejak Maret 2020, hasil jualan lukisan memang menurtun. Namun, Kadek Windari mengaku sangat bersyukur, karena masih ada pesanan. Ke depannya dia berharap mendapat dukungan dari pemerintah daerah, untuk menyediakan wadah bagi kaum disabilitas, seperti yang dilakukan Jogjakarta melalui Jogja Disability Art.
“Aku harap sih ada pihak yang bisa mendukung kaum disablitas dalam berkarya, menyediakan wadah promosi sehingga karya-karya kami bisa dikenal masyarakat luas. Selain juga untuk memotivisi teman-teman yang bernasib sama dengan kami agar tetap semangat dalam memperjuangkan hiudp,” harapnya. *k23
1
Komentar