Menjaga Asa Dari Mangrove
SINGARAJA, NusaBali
Abdul Hari, 40, berdiri di pantai berpasir putih wilayah Banjar Dinas Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Matanya memandang lekat satu demi satu pohon bakau yang tingginya belum sampai semeter. Pohon-pohon itu baru ditanam akhir Juni lalu. Sore itu, Kamis (22/7), dia mengamati secara saksama pertumbuhan pohon yang ia tanam hampir sebulan lalu.
Abdul Hari merupakan Ketua Satgas Lingkungan di Desa Pejarakan. Pria kelahiran 16 Juli 1981 itu menginisiasi pembentukan komunitas lingkungan di desanya. Misi satgas ini sangat prestisus. Yakni memperbaiki kerusakan hutan mangrove.
Selama dua dasa warsa terakhir, hutan mangrove di desanya hancur lebur. Tambak udang dan garam masuk ke desa pada tahun 1989-1990. Mangrove dengan mudahnya ditebang oleh investor maupun warga. Diperkirakan 58 hektare lahan mangrove – dari total lahan seluas 96 hektare – rusak karena dieksploitasi.
Ingatan Abdul Hari masih lekat dengan kerusakan yang terjadi kala itu. Daun mangrove dipangkas jadi pakan ternak. Kayunya ditebang untuk kayu bakar hingga pagar rumah. “Karena kalau disusun rapi, warna kayunya seperti pohon jati. Kalau kering juga kuat,” cerita Hari.
Dampaknya sudah bisa ditebak. Ekosistem mangrove di hilir desa mengalami kerusakan. Hewan-hewan yang biasa hidup di areal mangrove juga turut dieksploitasi. Kepiting, udang, kelomang, ditangkap untuk konsumsi. Hari menyebut Jalak Bali sempat hidup di areal tersebut. Namun pada dekade itu, jalak jadi salah satu target buruan.
Kerusakan begitu masif. Dari garis pantai sepanjang 7 kilometer di Desa Pejarakan, sekitar 60 persen mengalami kerusakan. “Dulu masyarakat tidak paham soal pentingnya keberadaan pohon ini. Mereka tahunya daun bagus untuk ternak, kayunya bagus untuk pagar. Itu saja,” kata pria yang akrab disapa Riri itu. Seiring berjalannya waktu, masyarakat makin sadar dengan lingkungan. Masyarakat bersama desa menginisiasi pembentukan Satgas Lingkungan.
Ketua Satgas Lingkungan Desa Pejarakan Abdul Hari. -IST
Saat awal dibentuk, Satgas lebih mengedepankan fungsi edukasi pada warga. Tak mudah seperti kelihatannya. Butuh waktu selama bertahun-tahun hingga masyarakat mengurangi aktivitas mengambil daun dan kayu mangrove.
Warga juga diedukasi agar tak membuang sampah sembarangan. Sebab sampah selalu bermuara di hutan mangrove. Dampaknya ekosistem mangrove juga mengalami kerusakan.
Saat pertama kali melakukan upaya pembersihan, Abdul Hari bersama beberapa pegiat yang terlibat nyaris menyerah. Kala itu tim mengumpulkan 90 kilogram sampah plastik dan residu. Itu pun belum bersih.
“Sampai pernah pas puncaknya, kami harus turun membersihkan sampah dua kali seminggu. Pernah sekali turun itu sampai 500 kilogram. Hanya sampah plastik dan residu lho itu,” ungkapnya.
Gandeng Investor
Tuntas dengan misi edukasi, satgas kemudian melanjutkan langkah ke misi berikutnya. Yakni melakukan reboisasi dan konservasi mangrove. Abdul Hari menggandeng Kelompok Putri Menjangan, kelompok konservasi di Pejarakan yang fokus pada pelestarian hutan mangrove.
Satgas menggandeng warga, kelompok, serta investor. Pihak ketiga yang menanamkan modal di Desa Pejarakan diminta turut berkontribusi dalam pelestarian kawasan pesisir. Utamanya hutan mangrove.
Bukan hal yang mudah menggandeng investor. Beberapa kali kelompok kesulitan mengakses lokasi penanaman. Karena lokasi itu telah dikuasai investor. Berbekal Hak Guna Usaha (HGU), investor kerap membatasi pergerakan kelompok.
Satgas pun menempuh cara berbeda. Yakni merangkul desa dinas dan desa adat untuk mendekati investor. “Mereka punya HGU. Secara legal formal, mereka punya hak. Tidak mungkin kami sembarangan ambil alih. Makanya kami coba jajagi bersama desa dinas dan adat, membuat kesepakatan pelestarian dengan merujuk undang-undang konnservasi,” jelas pria yang juga alumni SMPN 2 Gerokgak itu.
Polanya sederhana. Investor berdonasi pada satgas dan kelompok konservasi yang bernaung di bawah pemerintahan desa. Dana donasi kemudian dibagi untuk seluruh kegiatan konservasi. Mulai dari pembibitan, penanaman, pengawasan, pengelolaan sampah, hingga pengembangan kesejahteraan masyarakat.
Satgas dan investor kemudian menandatangi nota kesepahaman. Investor diberikan hak mengelola 10 persen dari total luasan mangrove di kawasan mereka. Sedangkan 90 persen sisanya dikelola oleh satgas.
Investor juga harus menaati sejumlah rambu yang tercantum dalam nota kesepahaman. Yakni tak boleh menebang pohon yang sudah ada, serta tak boleh mendirikan bangunan permanen di atas hutan mangrove.
Cara ini ternyata efektif. Bahkan mendapat apresiasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hingga Pada Oktober 2020, KLHK meluncurkan program padat karya tunai di Desa Pejarakan. Tatkala itu KLHK meminta masyarakat menanam 70.000 bibit mangrove. Seluruhnya dilakukan dengan skema padat karya. Mulai dari pembibitan hingga penanaman. Saat itu ada 50 orang yang terlibat langsung dalam program ini.
Dalam proses pembibitan, warga langsung melakukan penyemaian dari pohon induk. Bibit yang dihasilkan diyakini memiliki daya tahan lebih tinggi. Terutama dari gempuran gelombang pasang. Sementara proses penanaman dilakukan berdasarkan hitung-hitungan gelombang pasang surut. Biasanya mangrove ditanam saat gelombang surut. Jenis mangrove yang ditanam dipilih secara selektif mengacu pada lokasi penanaman.
Sedikitnya ada 12 jenis varietas mangrove yang ditanam pada bentang pantai sepanjang 7 kilometer. Di kawasan Putri Menjangan misalnya. Lebih banyak tanaman Perepat (Sonneratia alba) dan Bakau Kurap (Rhizophora mucronata) yang ditanam. Sementara di kawasan Teluk Banyuwedang, Bakau Minyak (Rhizophora apiculata) yang dominan.
Hampir enam bulan berselang, rata-rata keberhasilan penanaman mangrove di Desa Pejarakan diklaim di atas angka 80 persen. Keberhasilan itu membuat Abdul Hari dan rekan-rekannya kian optimistis melakukan pengelolaan mangrove. “Kami sekarang punya target setahun menanam 5.000 bibit pohon mangrove,” ucap Hari yang sempat menjadi manajer restoran salah satu hotel berbintang di Bali.
Perlahan namun pasti, konsistensi konservasi selama bertahun-tahun itu membuahkan hasil. Masyarakat mulai merasakan bahwa mangrove bisa memecah gelombang pasang, sehingga bisa mencegah abrasi yang kian menghantui pesisir Pejarakan.
Secara ekonomi, masyarakat juga mulai merasakan dampak. Sebelum pandemi menghantam, hutan mangrove menjadi daya tarik wisata bagi pelancong. Biasanya pelancong akan berkeliling hutan mangrove. Bila air surut, mengelilingi mangrove bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Tapi jika kondisi laut sedang pasang, wisatawan memilih berkeliling menggunakan sampan. Terkadang ada juga wisatawan yang ingin melakukan adopsi mangrove.
“Dulu banyak paket yang bisa dijual. Ada susur mangrove, wisata ke air panas Banyuwedang, ada juga wisata bahari pesisir. Tapi karena pandemi, sudah lama juga nggak jalan,” ujarnya seraya tersenyum.
Ekosistem mangrove juga mulai pulih. Kini kepiting, udang, kelomang, dan ikan gelodok mudah ditemukan. Ulat pun mulai banyak muncul. Sehingga Jalak Bali mulai datang ke hutan mangrove. Hal itu pun menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para pegiat.
Hari menuturkan sejak awal upaya konservasi yang dilakukan oleh Satgas bersama kelompok pelestari lingkungan selalu berpegang teguh pada ajaran Tri Hita Karana, filosofi tradisional di Bali. Yakni menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, menjaga hubungan dengan manusia, dan menjaga hubungan dengan lingkungan.
“Kami yakin, ketika alam sudah terpelihara dengan baik, maka alam akan menyediakan segala untuk kehidupan kita,” tutupnya.
Sementara itu Perbekel Desa Pejarakan Made Astawa mengungkapkan konservasi mangrove di kawasan pesisir desa telah menjadi ikon baru di desa. Utamanya dari sisi lingkungan dan wisata. Menurut Astawa selama ini aktivitas konservasi itu justru lebih banyak didukung pihak swasta.
Sebelum masa pandemi, sebuah perusahaan bisa menggelontorkan dana sebanyak Rp 75 juta untuk konservasi. “Itu dibagi-bagi kelompok yang langsung mengelola. Selain dari APBDes khusus untuk operasional pengelolaan sampahnya kami bantu,” jelas Astawa. k23
Komentar