Debt Collector Harus Kantongi Sertifikasi
Direskrimum Polda Bali
Kombes Djuhandani Rahardjo Puro
Debt Collector
Debtcolector
Polda Bali
Premanisme
Monang-maning
DENPASAR, NusaBali
Menjadi seorang debt collector harus tahu undang-undang yang mengatur tata cara pekerjaannya. Menjadi debt collector tidak cukup modal badan besar, tetapi harus menaati aturan hukum. Selain itu menjadi seorang debt colector harus memiliki etika dan tata krama dalam bertindak.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Bali, Kombes Djuhandani Rahardjo Puro saat gelar jumpa pers, Senin (26/7) mengatakan putusan tentang menetapkan bahwa objek jaminan tidak boleh langsung dieksekusi, meski sudah memiliki sertifikat jaminan. Penerima dan pemberi fidusia harus menyepakati terlebih dahulu mengenai cidera janji tersebut.
Jika sudah ada kesepakatan para pihak, penerima dapat langsung mengeksekusi. Namun, saat tidak terdapat kesepakatan maka, pelaksanaan eksekusi dapat melalui putusan pengadilan. Disini menjamin hak dan kewajiban antara konsumen dan produsen. Hak-hak dan kewajiban itu harus semua terpenuhi.
Kombes Djuhandani menjelaskan berdasarkan ketentuan Pasal 49 POJK Nomor 30/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bagi Perusahaan Pembiayaan, telah diatur mekanisme kerja sama antara Perusahaan Pembiayaan dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur.
Selain harus memiliki perjanjian kerja sama, aturan ini mensyaratkan debt collector bernaung dalam satu badan hukum. Badan hukum tersebut harus memiliki izin dari instansi terkait. Selain itu, debt collector wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari PT Sertifikasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia.
Petugas penyita benda kendaraan harus pegawai perusahaan pembiayaan tersebut atau pegawai alih daya (outsource) dari perusahaan pembiayaan yang memiliki surat tugas untuk melakukan eksekusi benda jaminan fidusia. "Saat penyitaan juga harus dilengkapi sertifikat jaminan fidusia serta proses penjualan barang hasil eksekusi benda jaminan fidusia harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan mengenai jaminan fidusia," ungkap Kombes Djuhandani.
Debt collector juga harus mempunyai etika dalam penarikan. Seperti tidak boleh melakukan kekerasan, tidak menggiring orang ke kantor, tidak boleh teror lewat telepon. Juga ada ketentuan jam waktu, yakni antara pukul 08.00 Wita sampai pukul 20.00 Wita.
Menjadi seorang debt collector harus mempunyai sertifikasi. Artinya tak sembarangan orang bisa menjadi penagih. "Jadi penagih bukan karena badan besar sebagai modal untuk menakut-nakuti orang," tegasnya.
Masalah antar kreditur dan debitur ini juga menyangkut hak dan kewajiban. Nasabah mempunyai hak untuk dilindungi hukum dan mempunyai kewajiban untuk membayar. Peristiwa yang berujung maut di Monang Maning, Jumat (23/7) kata Kombes Djuhandani itu melanggar ketentuan yang ada. Baik melanggar UU juga melanggar etika. Belum juga dilihat dari izin usaha dan lainnya. "Peristiwa kemarin itu pasti diselesaikan dengan penegakan hukum," lanjutnya.
Untuk mengantisipasi masalah semacam ini Polda Bali sudah jauh hari sebelumnya berupaya menjaga Kamtibmas di era pandemi Covid-19 dengan melakukan Kegiatan Rutin Yang Ditingkatkan. Baik mengawasi pencurian dengan pemberatan, pencurian sepeda motor, dan praktek premanisme.
"Praktek premanisme merupakan salah satu target. Sebetulnya kebijakan Kapolda sebelumnya dengan sekarang masih sama. Hanya saja cara melakukannya yang beda. Bapak Kapolda yang sekarang kami yang dibawa yang didorong untuk bertindak," ungkapnya.
Polda Bali akan memberikan perhatian khusus dalam kasus yang terjadi di Monang Maning. Ini tidak hanya dikaitkan dengan mata elang. Ada praktek premanisme lainnya yang melibatkan pentolan Ormas. "Ormas saat ini ibarat mati enggan hidup tak mau. Itu terjadi karena upaya pencegahan yang kita lakukan. Ormas yang mempraktekan semacam itu kami melakukan pengawasan. Kami tidak akan segan-segan untuk melakukan penegakan hukum," tandasnya. 7 pol
1
Komentar