Bisnis Cokelat Bali Lesu
Dirusak cuaca ekstrem di hulu, dan menghilangnya wisman di hilir
DENPASAR, NusaBali
Kondisi bisnis percokelatan di Bali sedang parah. Pertama karena faktor cuaca ekstrem di hulu. Kedua karena kehilangan pasar di hilir menyusul menghilangnya wisatawan mancanegara (wisman) di Bali akibat pandemi Covid-19. Akibatnya petani maupun pebisnis cokelat harus menelan kerugian tidak sedikit.
Kalangan petani dan pelaku bisnis coklat di Bali menuturkan, cuaca ekstrem menyebabkan putik kakao/cokelat banyak rontok. Kalaupun sampai berbuah, buahnya kemudian membusuk. “Karena faktor El Nino, sehingga panen kakao mundur,” ujar Kadek Surya Prasetya Wiguna, CEO PT Cau Chocolate Bali, Senin(26/7).
Jika kondisi cuaca normal, Juni-Juli-Agustus merupakan musim panen kakao. Namun akibat terjangan cuaca ekstrem beberapa bulan sebelumnya, perkembangan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
“Kemungkinan September depan barulah akan mulai panen,” paparnya. Yang jelas produksi kakao, sebagai bahan baku cokelat tidak optimal alias anjlok. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian juga dengan bisnis cokelat di hilir, yakni pemasaran produk olahan (konsumsi). Pariwisata Bali yang kolaps menyebabkan produk olahan cokelat kehilangan pasar dalam volume besar.
“Sampai 90 persen pasar cokelat hilang,” ungkap Kadek Surya. Lanjut Kadek Surya, hilangnya pasar tersebut karena sebagian besar konsumen cokelat di Bali adalah wisatawan. Baik untuk dikonsumsi langsung, maupun dalam bentuk souvenir yang banyak dipasarkan di mal, swalayan, toko oleh- oleh maupun counter cokelat lainnya.
Kadek Surya tidak menyebutkan berapa persis kerugian petani maupun petani cokelat akibat cuaca buruk dan ‘menghilangnya’ pasaran akibat pandemi Covid-19. Dia hanya memberi gambaran luas areal tanaman cokelat di Bali sekitar 15 ribu hektare, dengan produksi antara 6.000-7.000 ton per musim/setahun. Dengan asumsi harga sekitar Rp 30.000 per kilo, berarti besar kerugian Rp 30.000 kali 6.000-7.000 ton itulah potensi kerugian petani, pelaku usaha cokelat sektor hulu.
Menyiasati ‘hilangnya’ pasar , karena minim wisman di Bali, kalangan pebisnis cokelat seperti Kadek Surya mengintensifkan pemasaran ke luar daerah. Jakarta, Bandung dan beberapa kota di Jawa menjadi tujuan.
“Hasilnya cukup membantu pemasaran. Walau hasilnya tidak seperti dalam kondisi normal. Karena di sana (di luar daerah) kan juga terimbas pandemi,” lanjutnya.
Sebelumnya Kadek Surya menambahkan, dia juga mengekspor 3 ton kakao dengan tujuan Qatar. “Dilepas Pak Bupati (Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya),” ungkapnya.
Indonesia sendiri membutuhkan 1 juta ton kakao per tahun. Sedang produksi kakao Indonesia baru 600 ribu ton/tahun. Sehingga masih kurang 400 ribu ton/tahun. Sementara produksi kakao Bali yang hanya 6.000-7.000 ton per tahun.
Sebelumnya faktor gangguan cuaca ekstrem mengakibatkan kemunduran masa panen kakao disampaikan I Ketut Wiadyana dari Koperasi Kerta Semaya Samanita (KKSS) yang membudidayakan kakao di Jembrana. Hal itu menyebabkan banyak putik kakao rontok. Akibatnya produksi kakao menurun.
“Agustus nanti baru mungkin mulai (panen),” kata Wiadnyana. Di pihak lain pandemi tidak berpengaruh terhadap ekspor kakao. “Tahun 2021 ini tetap akan kita ekspor,” ujar Wiadnyana.
Beberapa negara tujuan ekspor kakao Bali adalah Jepang, Belanda, Prancis dan Belgia. Hal ini menyusul ekspor tahun 2020 lalu ke Belanda, Prancis, Jepang dan Amerika. K17
Komentar