Interaksi Tiga Faktor Perilaku Memilih dalam Pilkada Klungkung dan Gianyar
Hari pemungutan suara untuk memilih pemimpin daerah melalui Pilkada serentak 2018 telah dilalui.
Apa yang dapat kita cermati dari proses panjang kontestasi politik elektoral di Klungkung dan Gianyar? Setidaknya kita dapat melihat dinamika perilaku memilih masyarakat di dua kabupaten tersebut. Beberapa studi perilaku memilih di Bali sejak awal masa reformasi banyak bersinggungan dengan topik puri dan politik sebagai faktor sosilogis, identifikasi partai politik sebagai faktor psikologis, dan kualitas kandidat yang merupakan cerminan dari faktor pilihan rasional dalam teori perilaku memilih. Hasil dua pemilukada kabupaten yang dilaksanakan serentak tahun 2018 di Bali ini memungkinkan kita untuk mencermati kembali interaksi antar ketiga faktor di atas.
Ada kemiripan nuansa antar dua pilkada di wilayah yang berbeda ini. Pada pilkada Klungkung dan Gianyar terdapat beberapa kesamaan yaitu kontestasi yang hanya diikuti oleh dua paslon; kehadiran cabup yang dipandang sebagai representasi puri, namun kalah dalam kontestasi di dua wilayah ini; adanya unsur incumbent pada salah satu paslon yang akhirnya keluar sebagai pemenang pilkada versi hitung cepat; dan kemenangan kandidat yang disung oleh partai penguasa kursi di DPRD masing-masing kabupaten.
Di samping beberapa kemiripan itu, ada juga perbedaan dari keduanya. Perbedaan itu terletak pada persentase perolehan suara kandidat. Di Klungkung incumbent yang diusung parpol penguasa parlemen lokal memenangkan pemilihan dengan perolehan di atas 75% dan kemenangannya merata di seluruh kecamatan yang ada. Berbeda halnya dengan fakta yang dapat kita lihat di Gianyar. Hasil Pilkada Gianyar versi hitung cepat memperlihatkan incumbent unggul dengan angka 67% namun tidak di seluruh kecamatan. Pertanyaan yang kemudian muncul dari perbandingan sederhana itu, Benarkah faktor sosiologis seperti puri tidak lagi menjadi faktor penentu pilihan politik pemilih di dua kabuoaten ini? Lalu seberapa besar kontribusi faktor partai politik jika dibandingkan kualitas kandidat (termasuk kinerja incumbent) di mata pemilih pada dua momentum pemilihan bupati dan wakil bupati tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penting bagi kita untuk melihat data opini publik yang diambil melalui survey prapemilukada pada bulan Mei 2018 di dua kabupaten tersebut dengan sampel 540 responden yang tersebar di seluruh kecamatan yang ada di masing-masing kabupaten tersebut. Terdapat beberapa data yang dapat dibandingkan di dua wilayah ini, seperti persentase pemilih yang memilih kandidat karena kandidat merupakan tokoh puri; besaran persentase pemilih yang menjadikan partai pengusung sebagai pertimbangan penting dalam menentukan pilihan politik; dan tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja incumbent yang mencalonkan diri kembali.
Persentase responden di kabupaten Gianyar dan Klungkung yang menyatakan memilih kandidat karena faktor puri berada di kisaran 2%. Angka tersebut sama di kedua kabupaten. Persentase untuk alasan ini jauh lebih kecil jika dibandingkan angka untuk alasan memilih lain seperti alasan yang terkait bukti kinerja dan juga figur yang jujur dan bersih. Dari data ini kita dapat menduga bahwa pengaruh variabel puri dalam politik elektoral di Gianyar dan Klungkung tidak lagi terlalu signifikan. Hal ini terverifikasi melalui hasil hitung cepat yang menunjukkan kekalahan cabup berlatar belakang puri di dua wilayah ini.
Ada kemiripan nuansa antar dua pilkada di wilayah yang berbeda ini. Pada pilkada Klungkung dan Gianyar terdapat beberapa kesamaan yaitu kontestasi yang hanya diikuti oleh dua paslon; kehadiran cabup yang dipandang sebagai representasi puri, namun kalah dalam kontestasi di dua wilayah ini; adanya unsur incumbent pada salah satu paslon yang akhirnya keluar sebagai pemenang pilkada versi hitung cepat; dan kemenangan kandidat yang disung oleh partai penguasa kursi di DPRD masing-masing kabupaten.
Di samping beberapa kemiripan itu, ada juga perbedaan dari keduanya. Perbedaan itu terletak pada persentase perolehan suara kandidat. Di Klungkung incumbent yang diusung parpol penguasa parlemen lokal memenangkan pemilihan dengan perolehan di atas 75% dan kemenangannya merata di seluruh kecamatan yang ada. Berbeda halnya dengan fakta yang dapat kita lihat di Gianyar. Hasil Pilkada Gianyar versi hitung cepat memperlihatkan incumbent unggul dengan angka 67% namun tidak di seluruh kecamatan. Pertanyaan yang kemudian muncul dari perbandingan sederhana itu, Benarkah faktor sosiologis seperti puri tidak lagi menjadi faktor penentu pilihan politik pemilih di dua kabuoaten ini? Lalu seberapa besar kontribusi faktor partai politik jika dibandingkan kualitas kandidat (termasuk kinerja incumbent) di mata pemilih pada dua momentum pemilihan bupati dan wakil bupati tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penting bagi kita untuk melihat data opini publik yang diambil melalui survey prapemilukada pada bulan Mei 2018 di dua kabupaten tersebut dengan sampel 540 responden yang tersebar di seluruh kecamatan yang ada di masing-masing kabupaten tersebut. Terdapat beberapa data yang dapat dibandingkan di dua wilayah ini, seperti persentase pemilih yang memilih kandidat karena kandidat merupakan tokoh puri; besaran persentase pemilih yang menjadikan partai pengusung sebagai pertimbangan penting dalam menentukan pilihan politik; dan tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja incumbent yang mencalonkan diri kembali.
Persentase responden di kabupaten Gianyar dan Klungkung yang menyatakan memilih kandidat karena faktor puri berada di kisaran 2%. Angka tersebut sama di kedua kabupaten. Persentase untuk alasan ini jauh lebih kecil jika dibandingkan angka untuk alasan memilih lain seperti alasan yang terkait bukti kinerja dan juga figur yang jujur dan bersih. Dari data ini kita dapat menduga bahwa pengaruh variabel puri dalam politik elektoral di Gianyar dan Klungkung tidak lagi terlalu signifikan. Hal ini terverifikasi melalui hasil hitung cepat yang menunjukkan kekalahan cabup berlatar belakang puri di dua wilayah ini.
1
2
Komentar