Mengintip Kesakralan Kuburan Ari-Ari di Desa Bayunggede Kintamani
Ari-ari harus dibawa ke kuburan ketika subuh atau saat beranjak petang. Sangat pantang jika menggantung ari-ari saat matahari masih bersinar.
Tradisi dan pariwisata ibarat sepasang mata uang yang sulit dipisahkan dari pulau dewata. Menyebut namanya saja, dalam benak kita sudah pasti terbayang indahnya deburan ombak di bibir pantai hingga suasana pedesaan asri lengkap dengan penduduknya yang ramah. Namun, siapa sangka, dibalik segala keindahan itu tersembunyi berbagai macam kebiasaan-kebiasaan unik yang membuat heran dan sayangnya jarang diketahui khalayak.
Desa Bayunggede - NET
Seperti halnya di Desa Bayunggede, Kintamani, Bangli ini, ada sebuah kebiasaan unik oleh masyarakat sana yang sangat menarik untuk dikupas, yaitu tradisi menggantung ari-ari di Setra Ari-Ari (Kuburan Ari-Ari). Nusabali telah merangkum 6 hal yang penting kalian ketahui tentang Kuburan Ari-Ari di Desa Bayunggede Kintamani.
Plang Kuburan Ari-Ari Desa Bayunggede Kintamani - NET
1. Tradisi Sejak Ribuan Tahun Lalu
Tidak ada yang tahu persis kapan pastinya tradisi menggantung ari-ari ini dimulai. Konon katanya, tradisi ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Warga Bayunggede meyakini bahwa tradisi ini ada kaitannya dengan asal mula terbentuknya Desa Bayunggede. Dikisahkan manusia pertama di Bayunggede terlahir dari tued (kayu yang telah dipotong dan tersisa pangkalnya) yang kemudian dihidupkan oleh Tirta Kamandalu oleh kera putih yang merupakan putra dari Bhatara Bayu.
Penggantungan ari-ari di pohon juga perwujudan dari ideologi Catur Sanak yang diyakini harus dikembalikan ke asal mereka, yaitu kayu.
Begitulah kisah yang kian santer dari mulut ke mulut. Meski tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan secara rinci mengenai sejarah tersebut, akan tetapi masyarakat tetap taat menjalani tradisi menggantung ari-ari secara turun temurun hingga kini.
Namun, jika terbukti melanggar, keluarga yang bersangkutan harus membayar dengan 200 keping uang kepeng dan melaksanakan upacara mesayut untuk menyucikan kembali pekarangan mereka.
2. Ari-Ari Bayi yang Baru Lahir Wajib Dibawa ke Setra
Keharusan untuk menggantung ari-ari ini bukannya tanpa alasan. Menurut Gede Seriman, salah satu tokoh masyarakat di Desa Bayunggede, ari-ari bayi yang baru lahir jika ditanam di pekarangan rumah akan menimbulkan leteh (kotor) dan sarat akan pengaruh buruk yang akan berdampak pada pekarangan tersebut.
Proses menggantung ari-ari juga terbilang cukup rumit. Pertama, ari-ari harus dicuci sebersih mungkin menggunakan air tawar bersih. Lalu, siapkan tempurung kelapa yang sudah dipangkas menjadi dua bagian dan bersih dari air dan serabut kelapa sebagai wadah ari-ari. Pada bagian atas tempurung, ditulisi Ongkara (aksara suci Hindu).
Belum cukup, masyarakat juga sering memasukkan benda-benda yang bervariasi ke dalam tempurung ari-ari. Ada yang memasukkan robekan tikar, pensil, robekan kertas, mawar, merica/ketumbar, kapur sirih, kunyit, jeruk nipis, hingga duri terung/terong. Fungsinya, agar si bayi tetap harum, hangat, terjaga, dan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas kelak.
Terakhir, tempurung kelapa akan ditutup menggunakan sisa pangkasan tadi, dan selanjutnya diikat mengganakan tali bambu dengan simpul salang tabu. Jangan lupa mengoleskan kapur sirih pada ruas-ruas batok kelapanya agar dua belah tempurung tetap melekat dan rapat satu sama lain.
Ari-ari akan digantung pada sebuah ranting pohon yang bernama Pohon Bukak. Kendati masih terbilang leteh, keluarga yang baru saja menggantung ari-ari wajib menandai rumahnya dengan daun pakis agar warga tahu bahwa rumah di tersebut ada bayi yang baru lahir dan pantang didatangi oleh orang suci maupun tokoh desa. Setelah satu bulan tujuh hari, barulah dilaksanakan upacara penyucian sederhana di pekarangan rumah dan aktivitas pun kembali berjalan normal.
3. Yang Membawa Ari-Ari Harus Pria
Tradisi menggantung ari-ari ini kian unik dengan berbagai aturan-aturan yang membatasi para warga yang baru memiliki bayi, salah satunya yaitu, yang membawa ari-ari ke kuburan harus seorang pria. Jika ayahnya berhalangan, maka boleh digantikan oleh anggota keluarga yang lain dan harus seorang pria.
Mereka pun harus menggunakan pakaian adat dan membekali diri dengan sabit. Konon, zaman dulu, kuburan itu adalah hutan yang luas, bisa jadi akan ada binatang buas yang muncul. Maka, prialah yang harus berangkat, dan sabit juga berfungsi sebagai senjata selain untuk menebas semak dan ranting Pohon Bukak untuk menggantung ari-ari.
Berangkat dari rumah, yang memegang tempurung harus tangan kiri. Sesampainya di kuburan, tangan kanan yang memegang sabit dipergunakan untuk menebas ranting Pohon Bukak, lalu ketika sudah siap digantung, maka gantian tangan kanan yang dipergunakan untuk menggantungnya.
4. Pantangan saat Membawa Ari-Ari ke Setra
Jika ingin pertumbuhan bayi berjalan normal tanpa gangguan, maka beberapa pantangan ini jangan sampai dilanggar oleh orang tua bayi yang hendak menggantung ari-ari anaknya. Pertama, ari-ari harus dibawa ke kuburan ketika subuh atau saat beranjak petang. Sangat pantang jika menggantung ari-ari saat matahari masih bersinar.
Kedua, pantang untuk melakukan interaksi dengan siapa pun ketika hendak membawa ari-ari ke kuburan. Dilarang ngobrol, tolah-toleh, juga tertawa. Hal ini diyakini dapat membuat pertumbuhn bayi menjadi tidak baik dan kelak tumbuh menjadi pribadi yang tidak fokus pada tujuan dan hal buruk lainnya.
Ketiga, pantang untuk menebang pohon di lingkungan kuburan untuk kepentingan pribadi. Sebagai ganjaran, yang menebang tersebut harus menerima sanksi adat dan harus menanam pohon berjenis sama di areal pekuburan. Hal itu dilakukan karena diyakini bahwa pohon-pohon yang ada di areal tersebut cukup keramat dan harus dijaga.
1
2
Komentar